Kamis, 18 Desember 2008

Mungkin, banyak di antara kita belum tahu nama Tanjungmerawa. Dia adalah nama sebuah wilayah yang menjadi bagian Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara. Nama tersebut memiliki asal usul loh...berikut ini ceritanya... Namun, jangan sepenuhnya percaya ya...namanya juga cerita

ASAL MULA NAMA TANJUNGMERAWA


Pada zaman dahulu, di Sumatra Utara, hiduplah Turang dan Inang Mabumbu bersama dua anaknya. Anak yang sulung bernama Tohang, dan anak kedua bernama Tambu. Kehidupan mereka sangat menyedihkan. Mereka tinggal di dalam gubuk bambu yang beratap ilalang di pinggir sebuah sungai. Pakaian yang mereka miliki hanyalah yang melekat di badan. Itu pun penuh tambalan. Badan mereka kurus-kurus.

“Inang Mabumbu, istriku, kehidupan kita semakin lama semakin sulit. Padahal sebentar lagi engkau akan melahirkan anak kita yang ketiga. Oleh karena itu, besok pagi aku hendak ke negeri seberang mencoba mengubah nasib. Aku hanya beberapa pekan saja di sana. Jagalah anak-anak kita,” ujar Turang pada suatu malam menjelang tidur.

“Jangan khawatir, Abanganda. Aku akan menjaga anak-anak dengan baik,” jawab Inang Mabumbu. Walaupun sedih, Inang tetap menyetujui maksud baik suaminya.

“Satu pesanku Inang, tatkala aku hendak melangkah keluar dari gubuk, janganlah engkau menitikkan airmata. Berilah aku sebuah senyum manis agar aku berhasil di rantau orang,” ujar Turang kembali.

Esoknya, pagi-pagi sekali Turang sudah siap berangkat.

“Abanganda, berhati-hatilah dan cepat pulang. Aku, kedua putramu, dan anak yang masih dalam kandungan ini selalu menunggumu,” kata Inang saat suaminya berpamitan. Turang pun melangkah keluar. Kesedihan Inang tak dapat dibendungnya. Saat itu pula melelehlah airmatanya.

Sudah berpekan-pekan Turang berada di negeri orang. Namun belum juga ia pulang. Siang malam Inang berharap dan berdoa agar suaminya segera datang. Apalagi kelahiran bayinya sudah menjelang.

“Hari kelahiranmu sudah dekat, Nak. Tapi mengapa ayahmu belum juga pulang?” Inang bergumam sendiri sambil mengelus perutnya.

Pada suatu hari, Inang pun melahirkan anak perempuan yang diberinya nama Indang Sari.

Tak lama setelah kelahiran Indang Sari, terdengar kabar, perahu yang ditumpangi Turang terkena badai dan tenggelam di laut lepas.

Inang sangat bersedih. Tak henti-hentinya ia meneteskan airmata. Namun, ia kemudian berusaha melupakan kesedihan itu.

Inang bertekad untuk membesarkan anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna. Setiap hari Inang mencari kayu bakar untuk ditukarnya dengan beras atau kebutuhan lainnya. Tak jarang, saat mencari kayu Inang sambil bersenandung untuk melupakan kesedihannya. Seluruh penghuni hutan pun turut terhibur dengan suara Inang.

Anak-anaknya pun sering turut membantu, walaupun kadang diselingi dengan bermain-main.

Pagi itu Inang Mabumbu bersama ketiga anaknya pergi ke hutan. Inang Mabumbu sibuk mencari kayu bakar, sedang ketiga anaknya asyik bermain-main di sebuah tepian air yang cukup dalam. Orang menyebut tempat itu Tanjung. Di sekitar Tanjung ditumbuhi pepohonan yang berbunga indah dan berwarna-warni. Indang Sari tampak berlarian di taman bunga dengan gembiranya.

Waktu terus berjalan. Hari berganti hari, bulan dan tahun telah terganti. Berkat kesabaran dan kasih sayang Inang, ketiga anaknya tumbuh menjadi anak yang santun dan baik hati. Indang tumbuh menjadi gadis cantik dan bersuara merdu. Banyak pemuda tertarik untuk meminangnya. Namun, Indang belum ingin menikah. Sementara itu, Inang Mabumbu pun bertambah tua. Tenaganya tidak kuat lagi. Sekarang ganti Tohang dan dan Tambu yang bekerja mencari kayu di hutan. Setiap hari keduanya pergi mencari kayu secara terpisah. Jika Tambu pergi ke barat, maka Tohang pergi ke timur.

Jika kedua kakaknya mencari kayu di hutan, Indang Sari mengurus rumah bersama ibunya. Setelah pekerjaan rumah selesai, tak jarang Inang Mabumbu membelai-belai rambut Indang Sari penuh sayang. Jika rambut anaknya itu tampak kusut, tak segan-segan Inang meminyakinya.

“Indang, Anakku. Peliharalah rambutmu baik-baik, karena rambut bagi seorang wanita sangatlah mahal nilainya. Dengan rambut yang panjang dan indah mempesona, kalangan bangsawan akan tertarik padamu. Apalagi suaramu begitu merdu,” kata Inang sambil membelai rambut Indang Sari penuh kasih sayang.

Malam itu Inang begitu lelah sehingga cepat terlelap. Dalam tidurnya, Inang bermimpi naik kuda bersayap. Kuda itu kemudian berhenti di sebuah sungai. Di dalam sungai itu banyak mutiara yang berkerlip tertimpa cahaya.

“Aih, indah nian mutiara-mutiara ini,” kata Inang sembari mengambil beberapa mutiara yang paling indah.

Tidak jauh dari sungai itu ada istana megah yang dikelilingi berbagai pohon indah dan berbuah ranum. Tengah asyik mengagumi pemandangan di depannya, Inang kemudian terkejut mendengar kokok ayam dan ia terbangun.

Pagi itu, Tohan dan Tambu pergi ke pekan untuk menjual kayu. Sementara Indang Sari yang telah menyelesaikan semua pekerjaannya pergi ke Tanjung. Ia menikmati keindahan bunga yang sedang bermekaran di tepian Tanjung sambil bersenandung riang. Suaranya yang merdu menyejukkan siapa saja yang mendengarnya.

“Oh, Indang. Aku jauh-jauh dari seberang terbang kemari untuk mencari makan. Saat mendengar suaramu yang merdu, aku kagum dan hatiku terhibur. Rasa lapar pun hilang,” kata burung Cisarakas memuji Indang.

“Ah, benarkah katamu wahai burung yang indah,” Indang menyahut Cisarakas dengan merdunya.

Sementara itu di lain tempat, Raja Batak mengadakan sayembara menyanyi dengan hadiah sekeping emas. Indang Sari pun turut serta dan memenangkan perlombaan itu. Rupanya Raja Batak jatuh cinta pada Indang Sari dan berniat melamarnya.

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Raja Batak seorang diri. Setiba di belakang rumah Indang Sari, karena haus, ia pun berniat mengambil air dari Tanjung. Namun sayang, badannya menyenggol tumbuhan Jelatung yang sangat gatal.

“Bah, Tanjung pun merawa gatalnya. Wah, makin merawa ke badanku. Wah, Tanjung ini merawa gatalnya. Bah, mati aku. Tanjung merawa gatalnya,” kata sang Raja sambil terus menggaruk badannya dan berguling-guling karena tak tahan. Akhirnya sang Raja pingsan dan ditemukan Tohang, Tombu, dan Indang Sari. Sang Raja kemudian dibawanya pulang. Mereka merawat sang Raja dengan baik. Sang Raja terus-menerus mengigau dan menyebut ‘tanjung merawa’.

Setelah sang Raja sembuh, dia melamar Indang dan menikah. Maka dibangunnya rumah Indang menjadi istana yang indah. Daerah tempat mereka tinggal kemudian disebut Tanjung Merawa .

Tidak ada komentar: