Review
A. Ringkasan Isi
Peranan ideologi dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat berkelas menjadi sebuah pertanyaan penelitian yang diperdebatkan secara luas dalam ilmu sosial. Dalam kurun waktu 20 tahun terdapat perubahan dalam melihat agama sebagai dorongan ephifenomena dan pembentukan warga negara, dan melalui sebuah perspektif yang menekankan “peranan ideologi dalam legitimasi wewenang kekayaan dan kekuasaan”. Contoh dari trend ini adalah sebuah serial buku edisi terbaru dan revisi yang menjelaskan peranan ideologi dalam perkembangan masyarakat yang kompleks di Amerika dan tempat lain. Seperti kata Paul Frederich, ”ideologi adalah sebuah sistem atau paling tidak campuran dari ide, strategi, taktik, dan simbol praktek untuk promosi, mengajak, atau mengubah permintaan sosial dan kultural. Secara luas ini merupakan tindakan dalam ide politik, sedangakan beberapa ideologi khusus sering terlihat sebagai siratan keinginan dari beberapa group sosial atau kelas. Mereka ssecara berkelanjutan didefinisikan kembali dan dibentuk kembali oleh oknum individu sosial. Hubungan erat beberapa kajian terakhir menunjukkan beberapa tipe mitos mempengaruhi arah sejarah, sebagai kelompok individu secara aktif memanipulasi mitos untuk menunjukkan alasan mereka sendiri dan menggunakannya untuk menjelaskan pertunjukkan khusus.
Dalam essai ini, saya membicarakan bagaimana ritual tanam dan panen jagung dipertunjukkan di Cusco, ibukota dari Inca, yang digunakan oleh penguasa untuk menunjukkan status elit mereka. Saya kemudian menunjukkan bahwa ritual ini memberlakukan kembali penaklukan legendaris sebuah wilayah oleh Manco Capac dan Mama Huaco, penyihir pertama Inca. Dalam hal ini saya mengilustrasikan bagaimana diantara kelas masyarakat kuno, mitos dan ritual diberlakuan kembali. Mereka memnunjukkan dan mengabadikan kekuatan dasar dari para elit dengan mengidentifikasi mereka dengan kekuatan organik reproduksi dan dengan menyarankan sistem hirarkis dimana fungsi masyarakat sebagai bagian dari permintaan alami berdiri sejak awal sejarah manusia. Sebagaimana di tempat lain, di pusat Andes di Peru, mitos digunakan untuk memajukan perkembangan dan pengabadian hirarki sosial dengan menyediakan para elit, akses menuju kekuasaan di luar jangkauan perorangan pada umumnya. Akses untuk supernatural dikukuhkan dalam mitos dari masa lalu dan ditunjukkan pada masa kini dengan ritual, melegitimasi klasifikasi para elit sebagai manusia superior dan berbeda. Dalam pandangan ini, perkembangan sistem mitologi dan ritual yang mendukung penguasaan elit terhadap kekuasaan merupakan elemen kritis dari kepemimpinana dan ketatanegaraan yang sukses.
Agrikultur Sebagai Peperangan Antara Inca
Jagung merupakan hasil panen yang terpenting dalam kerajaan Inca. Jagung merupakan sumber utama nutrisi dan bahan dasar untuk bir jagung yang disebut chicha, yang dikonsumsi dalam semua ritual. Produksi jagung di kerajaan Inca terdapat di setiap level sosioekonomi. Jagung merupakan tanaman makanan pokok bagi komunitas petani yang bertempat antara 2.600-3.600 m di atas permukaan laut. Desa yang berada di bawah atau di atas zona produksi itu menukarkan hasil produksi mereka dengan jagung, atau mencari akses langsung untuk mendapatkan jagung melalui pendirian koloni di daerah yang cocok untuk bertanam jagung. Jagung juga merupakan upeti utama yang diberikan kepada kerajaan. Tumbuh di lahan yang berada di bawah pengawasan negara dengan mempekerjakan buruh paksa (mat’a), jagung disimpan di lumbung besar yang didirikan di sekitar pusat administrasi daerah Inca. Para dewa utama Inca – matahari, bulan, bintang, guruh, dan kilat – menjaga lahan jagung yang luas. Hasil produksinya digunakan untuk mendukung pengkultusan para dewa.
Musim tanam jagung di daerah Cusco mulai pada pertengahan Oktober sampai awal Mei. Lahan dibajak pada bulan Agustus sebelum awal tanam dan dipanen beberapa minggu setelah jagung telah mulai mengering di lahan. Pembalikan tanah (pembajakan) di bulan Agustus memulai peredaran jagung yang berakhir delapan bulan kemudian dengan pemotongan bonggol jagung kering dan panen. Kalender seremonial menunjukkan, berdasarkan perputaran matahari, hari yang pasti dimana raja memulai ritual musim tanam jagung dengan membajak dan menanam di lahan suci. Dua catatan sejarah menunjukkan bahwa hari dimana turun bajak pertama ditentukan dengan terbenamnya matahari di antara dua pilar besar di bukit Picchu yang terlihat dari pusat Cusco. Ritual bajak dihubungkan dengan peristiwa ini merupakan salah satu upacara tahunan yang sangat penting yang diadakan di ibukota Inca.
Garcilaso de la Vega memberikan gambaran menyeluruh dari ritual bajak jagung dan mengindikasikan selama ia berada di kota kerajaan, dia melihat upacara penggaruan yang meriah dua sampai tiga kali. Dia mencatat upacara itu dilakukan di sebuah lahan di Collcampata, di sektor Cusco, sekarang disebut San Cristobal, di lereng bukit Sacsahuaman. Garcilaso de la Vega menyatakan bahwa ritual bajak diadakan di Collcampata karena menurut mitologi Inca, merupakan lahan pertama yang diperuntukkan bagi matahari. Sejak Collcampata menjadi istana dari legenda Inca pertama, Manco Capac, persembahan lahan ini kepada matahari lebih dipercaya oleh masyarakat Inca setelah penaklukan ajaibnya di lembah Cusco. Garcilaso de la Vega menulis:
Tanah ini dibentuk dan dijaga oleh mereka yang berdarah biru, dan tidak seorang pun kecuali para masyarakt Inca dan Palla (wanita berdarah biru) yang bisa mengolahnya. Pekerjaan itu dilakukan dengan perayaan yang megah, khususnya pada masa bajak, ketika masyarakat Inca berdandan lengkap dengan semua lencana jabatan dan perhiasan mereka. Lagu yang mereka bawakan sebagai pemujaan terhadap matahari dan raja mereka dalam bahasa Haili, yang berarti kemenangan di semua tanah, yang mereka bajak dan kesuburuan sehingga mampu menghasilkan buah. Lagu tersebut juga termasuk sajak elegan oleh pujangga cinta dan prajurit yang gagah berani menjadi subjek kemenangan mereka melalui tanah yang mereka bajak. Refrain dari setiap sajak adalah kata “hailly”, diulang sebanyak yang dibutuhkan sebagai tanda beat dari ritme tertentu, seperti gerakan yang dilakukan suku Indian dengan mengangkat dan menjatuhkan peralatan mereka, agar lebih mudah mencangkul tanah.
Sebagaimana diterangkan oleh Zuidema dan van de Guchte, masyarakat Inca menghubungkan perang dan agrikultur secara dekat. Hubungan ini diperjelas dengan pilihan kata Garcilaso de la Vega yang sangat hati-hati ”mengeluarkan isi perut” (disembowel) untuk menggambarkan persiapan lahan untuk cocok tanam. Tanah terlihat seperti dikalahkan, dibelah, dan bagian dalamnya dikeluarkan selama pembajakan. Hubungan anatara perang dan agrikultur dibuat tanpa banyak pertanyaan dengan haylli, yang dinyanyikan selama perayaan.
Kata haylli diterjemahkan oleh beberapa penulis modern sebagai ”lagu kemenangan”, tapi kamus Peru yang terdahulu, termasuk Domingo de Santo Tomas dan Arte y Vocabulario, secara khusus menyatakan bahwa lagu tersebut dinyanyikan pada waktu perang dan selama bercocok tanam. Penulis Spanyol yang terdahulu Gonsalez Holguin menyediakan banyak pernyataan bahwa istilah tersebut berhubungan dengan perang dan agrikultur, termasuk ”Haylli, lagu gembira di peperangan atau lubang lahan selesai dibuat dan terkalahkan. Penulis asli terdahulu dari Andes, Pachacuti Yamoui Salcamayhua menunjukkan bahwa haylli dapat dinyanyikan setelah peperangan yang sukses atau pada malam untuk mengharapkan kemenangan. Untuk mensugesti hal itu haylli dinyanyikan di Cusco saat berakhirnya pawai kemenangan Tupa Inca Yupanqui di bagian utara tanah tinggi Andean, dan oleh jenderal Inca Challchima dan Quisquis setelah ramalan menyatakan bahwa Atahualpa akan mengambil alih kekuasaan di seluruh kerajaan dengan mengkudeta saudara tirinya Huascar.
Demikian juga ada banyak referensi dokumen pada akhir abad 16 dan awal abad 17 dari Peru yang mengindikasikasikan bahwa haylli dinyanyikan pada awal dan akhir musim jagung. Tidak seperti catatan sejarah Garcilaso de la Vega, meskipun, dokumen lain umumnya menyatakan bahwa belah bumi pertama sama seperti panen pertama, diadakan di chacara (ladang) di timur Cusco bernama Sausero. Bernabe Cobo, pendeta Jesuit yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Peru, memberikan tiga referensi penting mengenai ladang di Sausero dan upacara jagung yang bertempat di sana. Yang pertama termasuk gambarannya mengenai sistem ceque Cusco, sebuah jaringan dari 328 kuil yang mengelilingi kota Cusco
Yang ketiga dinamakan Sausero. Merupakan chacara untuk keturunan Paullu Inca dimana, saat musim tabur, raja sendiri yang mengawali penanaman. Yang hasil panennya dipersembahkan untuk matahari. Hari dimana suku Inca melakukan festival khidmat untuk semua pemimpin di Cusco. Mereka membuat pengorbanan besar pada tempat datar ini, khusunya perak, emas, dan anak-anak.
Di bagian lain dalam catatan sejarahnya, Cobo menggambarkan ritual tanam jagung bertempat di Sausero lebih detail. Dia menulis bahwa di bulan kesembilan setiap tahunnya ada banyak pengorbanan, termasuk Ilamas (disebut domba oleh orang-orang Spanyol) dan kelinci besar, dibuat di Sausero sebelum tanam jagung dapat dimulai:
Domba-domba ini merupakan hasil ternak dari (suku Inca dan) matahari, dan dengan pengorbanan ini chacara beranama Sausero ditebar. Proses penanaman bibit dilakukukan dengan penuh kekhidmatan karena chacara ini milik matahari. Dimana hasil panennya untuk pengorbanan bagi matahari. Selama waktu tersebut penanaman bibit selesai, di tengah-tengah ladang ada domba putih bertelinga emas, dan bersama dengan domba tersebut terdapat banyak suku Indian dan mamaconas (wanita suci) dimana matahari menyiramkankan banyak chicha atas nama domba tersebut. Setelah selesai penaburan, ribuan cuis (kelinci besar) dibawa dari banyak provinsi.... pengorbanan ini diperuntukkan bagi musim dingin, angin, dan matahari, dan untuk semua hal yang terlihat mampu menumbuhkan tanaman mereka atau merusaknya.
Seperti bajak pertam di Sausero di bulan agustus, panen jagung juga ditandai dengan ritual besar. Mengacu pada Cobo, panen biasanya diawali oleh remaja laki-laki yang telah ditasbihkan menjadi lelaki dewasa. Pejuang muda didanadani komplit dan menyanyikan haylli seperti mereka memanen ladang. Kemudian ladang kembali dibajak oleh bangsawan Inca, yang memakai jubah yang mereka dapatkan saat memenangi perang.
Cobo bukan satu-satunya pencatat sejarah yang menulis hal penting yang terjadi di Sausero. Cristobal de Molina, yang telah lama menjadi pendeta di rumah sakit untuk pribumi di Cusco, juga menulis upacara tanam dan panen yang berlangsung di sana. Penjelasannya mengenai ritual di Sausero sangat menarik karena mendukung klaim Cobo bahwa panen dimulai dengan pentasbihan laki-laki dewasa baru di Cusco dan juga memberikan informasi letak ladang. Hanya saja tidak seperti Cobo, yang menyatakan bahwa panen jagung di Sausero dipersembahkan untuk matahari, Molina menyatakan bahwa hasil panen dipersembahkan sebagai pengkultusan Mama Huaco, saudara perempuan istri Manco Capac. Lebih jauh, Molina mencatat bahwa upacara jagung dilaksanakan pada ladang tersebut karena merupakan tempat penemu legendaris Cusaco menanam jagung pertama kali:
Mereka menamakn bulan April Ayrihuay. Dimana mereka memanen ladang dan mengumpulkannya dan membawanya, yang disebut Aymuray. Dan para lelaki yang menerima senjata pergi ke ladang di Sausero untuk membawa maizena yang telah dipanen, di suatu tempat dimana mereka memanggil Mama Huaco, saudara perempuan Manco Capac, suku Inca pertama, meanburkan maizena pertama. Ladang yang setiap tahunnya dihormati sebagai penjelmaan Mama Huaco. Terbuat dari maizena, chicha yang penting bagi persembahan.
Tempat yang disebutkan oleh Molina dalam kutipan ini adalah Arco Punco (juga disebut Arco de la Plata). Meskipun tempat tersebut telah dihancurkan, sebuah jalan di Cusco sebelah timur Limacpampa masih menyisakan namanya, dan letak tempat yang terdahulu diindikasikan di peta Cusco milik Wiener. Daerah di bawah tempat tersebut masuk dalam sektor Cusco dekat ujung bandara lama. Gambaran Molina mengenai lokasi Sausero didukung oleh penduduk tertua Cusco yang masih ingat daerah yang disebut dengan nama itu. Lebih jauh, Agurto Calvo, Sherbondy, dan Ardiles Nieves masing-masing menyatakan kalau Sausero berlokasi di daerah tersebut.
Bartolome de Segovia mengamati upacara panen jagung di Cusco bulan April 1535, hanya tiga tahun setelah kedatangan bangsa Spanyol di Cusco. Dengan mata kepalanya sendiri dia menggambarkan bangsawan suku Inca pergi dari kota menuju tempat di arah matahari terbit. Ada lebih dari 600 bangsawan berdandan mewah berbaris dalam dua barisan menunggu matahari. Saat matahari terbit mereka mulai bernyanyi. Mereka menaikkan volume nyanyian mereka sampai tengah hari dimana sinarnya sangat kuat. Kemudian mereka menurunkan suara mereka ketika matahari mulai terbenam. Segovia juga menggambarkan ritual cocok tanam di Cusco, penguasa kerajaan Inca yang pertama kali melakukan cangkul bumi. Setelah penguasa suku Inca memulai, ladang dikerjakan oleh berbagai bangsawan. Segovia menulis, “jika suku Inca tidak melakukannya, tidak satu Indian pun berani melakukannya, atau mereka percaya tanaman tidak akan tumbuh jika suku Inca tidak melakukannya.
Informasi sekitar ritual tabur benih dan panen jagung suku Inca juga dibahas oleh Felipe Guaman Poma de Alaya, penulis asli dari daerah Huanaco di utara pusat Andes, diketahui telah mengunjungi Cusco. Seperti penulis lainnya, dia menekankan pentingnya lagu dinyanyikan selama ritual tanam jagumg. Lebih jauh, dua gambar Guaman Poma de Alaya mengilustrasikan penguasa suku Inca menggarap ladang bersama tiga bangsawan di bulan Agustus. Para lelaki dibantu oleh empat wanita yang membantu menanam bibit. Saat mereka bekerja mereka menyanyikan haylli.
Referensi ini mengilustrasikan perumpamaan perang antara manusia melawan alam dalam ritual dramatis. Dalam kata-kata van de Guchte, “bagi suku Inca tanah penting untuk ditaklukkan”. Setiap tahun, pada awl putaran agrikultur, suku Inca, ditemani oleh saudara perempuan, istri dan bawahannya, membajak ladang jagung pertama. Ritual ini disimbolkan dalam bahasa peperangan. Suku Inca, seorang raja pahlawan, membajak lahan, secara ritual mengalahkan dan mengeluarkan isi bumi. Selama upacara yang kompleks ini hayllis ceria dalam perang dan penanaman dinyanyikan. Delapan bu1lan kemudian, jagung yang matang dipanen diawali dengan pentasbihan peajuang baru di masyarakat dan persiapan untuk memulai musim cocok tanam selanjutnya. Ritual ini diulang setiap tahunnya, ketika hal tersebut masih dipercaya oleh suku Inca sebagai bentuk mempererat hubungan manusia dengan alam dan akhir yang baik dari setiap putaran musim tanam.
Selama ritual jagung di Cusco penguasa suku Inca dipandang sebagai figure penguasa besar. Dialah yang memiliki kekuatan untuk mengalahkan dan menangkap kekuatan subur dari dalam untuk masyarakat. Karenanya dialah yang memulai cangkul bumi pertama. Faktanya, penguasa suku Inca hanyalah seseorang dalam kerajaan yang mencari legitimasi dan pengakuan atas kehebatan diantara para elit Cusco.
Asal Mula Agrikultur dan Dongeng Penaklukkan Cusco
Mitos merupakan cara melihat suatu fenomena sosial yang muncul sebagai hasil suatu kejadian yang terjadi sebelumnya, biasanya terjadi dalam kurun waktu di masa lalu. Mitos asli Pacariqtambo dari suku Inca dimulai dengan kemunculan Manco Capac dan saudaranya yang bangsawan dan para istri mereka dari gua di selatan lembah Cusco di wilayah Pacariqtambo. Dalam mitos diceritakan perjalanan Manac Capac dari Pacariqtambo menuju lembah Cusco dan peperangan yang terjadi antara pendahulu suku Inca ini dengan penduduk asli setempat. Catatan sejarah Sarmiento de Gamboa berdasarkan pada informasi yang dikumpulkan di Cusco tahun 1572, menjelaskan secara terperinci mitos asal-usul Pacariqtambo. Seperti kebanyakan mitos asal-usul, mitos Pacariqtambo dapat dianalisis dari berbagai macam perspektif. Urton dan saya telah menganalisa kisah perjalanan pendahulu suku Inca ke lembah Cusco dan peranan Manco Capac sebagai raja asing. Di sini, saya akan menganalisa mitos yang sama dalam hubungannya dengan asal-usul agrikultur dan ritual tanam dan panen jagung di Cuscoa.
Sarmiento de Gamboa menulis sekitar enam liga (kira-kira 33 km) dari Cusco ada tempat bernama Pacariqtambo, dimana ada bukit bernama Tambotoco dengan tiga jendela atau gua. Gua-gua tersebut bernama Marastoco, Sutictoco, dan Capactco. Empat laki-laki dan empat perempuan, para pendahulu suku Inca, diceritakan muncul dari gua di tengah yang disebut Capactoco. Yang laki-laki bernama Manco Capac, Ayar Auca, Ayar Cache dan Ayar Ucho, sedang yang perempuan bernama Mama Ocllo, Mama Huaco, Mama Ipacura dan Mama Raua. Kedelapan suku Inca tersebut diceritakan memulai perjalanan menuju lembah Cusco membawa berbagai macam barang termasuk peralatan dari emas, seekor Ilamas suci, dan biji-biji jagung. Mereka mengunjungi banyak tempat dalam perjalan mereka ke utara mencari tanah untuk bercocok tanam yang baik. Selama perjalanan mereka semua saudara laki-laki kecuali Manco Capac mengalami nasib sial. Ayar Cache jatuh ke dalam gua dan Ayar Auca dan Ayar Ucho berubah menjadi batu. Hanya Manco Capac dan kempat saudara perempuannya yang tiba di lembah Cusco. Setelah mereka menuruni lembah, Manco Capac dan Mama Huaco menguji tanah dengan suatu alat untuk mencari bagian yang subur. Legenada tersebut menurut Sarmiento Gamboa berlanjut:
Mereka terus mencari, menguji tanah dengan tongkat, alat dan menciumnya, sampai mereka tiba di Huanaypata, dan mereka merasa puas. Mereka menganggap tanah itu subur, karena menaburi terus-menerus, dan selalu mengeluarkan mata air, dan memberikan lebih dan lebih ketika ditaburi dan setelah tanaman tidak ditaburi. Mereka memutuskan untuk menduduki tanah tersebut dan menundukkan penduduknya dengan paksaan, meskipun mereka pemilik dan penduduk asli tempat itu.....
Dan kedatangan di tanah Huaypata, dekat dengan yang sekarang disebut Arco de la Plata, jalan di Charcasmereka menatap di sana tempat yang disebut oleh penduduk asli Indian sebagai Huallas....dan Manco Capac dan Mama Huaco mulai menetap dan menduduki tanah dan air melawan keinginan para penduduk Huallas. Di sana mereka melakukan banyak aksi buruk penuh kekerasan. Dan karena para penduduk Huallas bersatu mempertahankan hidup dan tanah mereka, Mama Huaco dan Manco Capac melakukan banyak kejahatan dalam melawan mereka. Dan mereka mengatakan bahwa Mama Huaco sangat jahat, dia membunuh salah satu penduduk Indian Hualla, membelahnya dan mengeluarkan isi perutnya, dan menaruh jantung dan paru-paru orang tersebut di dalam mulutnya, dan dengan haybinto – sebuah batu yang diikat dengan tali yang dia gunakan untuk melawan – dia melawan penduduk Huallas dengan tekad yang kejam. Dan saat penduduk Huallas melihat kejadian yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan itu, mereka ketakutan, sehingga meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mama Huaco melihat kejahatan yang telah mereka lakukan menjadi takut dianggap sebgai tirani, memutuskan untuk tidak membiarkan para penduduk Huallas pergi... dan membunuh mereka semua, mengambil semua bayi dalam kandungan ibunya sehingga tidak ada kenangan yang tersisa tentang para penduduk Huallas yang menderita.....
(Para penerus suku Inca) kembali ke Huanaypata, tanah yang mereka rebut dari penduduk Huallas. Dan dari benih yang mereka tabur mereka mengumpulkan maizena yang baik.
Kisah di atas menceritakan kedatangan suku Inca pertama kali di lembah Cusco dan pertempuran mereka dengan penduduk asli Huallas demi ladang di Huanaypata. Selama peperangan yang mengerikan ini Mama Huaco membunuh dan mengeluarkan isi perut seorang pejuang Hualla. Sehingga Mama Huaco berusaha untuk membunuh semua penduduk asli tersebut, sampai harus mengambil jabang bayi dalam kandungan ibunya. Setelah berhasil menduduki lembah Cusco, Manco Capac dan Mama Huaco menanam bibit jagung pertama di ladang Huanaypata dan memanen banyak sekali.
Juan de Betanzos, telah lama tinggal di Cusco dan salah satu penulis awal catatan sejarah Peru, mencatat versi lain dari kisah penaklukkan lembah Cusco. Yang terpenting dalam kajian ini adalah Betanzos juga menyebutkan kebrutalan Mama Huaco dalam melawan penduduk asli Hualla. Dia mencatat, meskipun, para Hualla menanam cokelat dan lada di lembah, hal ini merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima, karena lembah Cusco terletak 3.300 m, terlalu tinggi untuk tanaman tropis.
Juga perlu untuk digarisbawahi bahwa ladang di Huanaypata, daerah subur dimana peralatan emas Manco Capac pertama kali terbenam ke dalam tanah dan dimana Mama Huaco menangkap dan membelah tubuh pejuang Hualla, terletak di dekat ladan Sausero, dimana jagung biasanya ditanam dan dipanen oleh para penguasa Inca. Baik Sarmiento de Gamboa dan Molina menjeaskan lahan ini di bawah tempat yang dintadai di pintu masuk Cusco di sebelah timur selama periode awal kolonisasi. Lebih jauh, Molina menulis bahwa Mama Huaco dipercaya sebagai penyebar bibit jagung pertama di ladang Sausero, dan panen tahunan dari ladang ini untuk memujanya. Jelaslah bahwa ladang di Huanaypata dan Sausero berhubungan dengan cocok tanam jagung pertama kali di Cusco dan peperangan Mama Huaco melawan penduduk asli di lembah tersebut.
Kemunculan Manco Capac dari gua Tambotoco dan kemenangan atas penduduk Asli Cusco oleh Mama Huaco telah lama dianggap sebagai cara bagaimana suku Inca menduduki daerah tersebut. Meskipun saya setuju dengan hal ini, saya percaya mitos ini juga menjelaskan bagaimana alam pertama kali dijinakkan oleh masyarakat. Berdasarkan pada mitos, jagung diberikan kepada manusia saat para pendahulu suku Inca muncul dari Pacariqtambo. Manco Capac dan saudara kandung bangsawannya tiba di lembah Cusco membawa biji tersebut. Ketika memasuki lembah, mereka merasa harus menempatinya. Mitos versi Betanzos menceritakan para penduduk asli lembah menanam cokelat dan merica, keduanya hasil hutan. Penduduk asli lembah itu, dalam kata lain, primitif (asli) dan liar (hutan), dan hal tersebut merupakan analogi dari kekuatan alam. Kekuatan ini dikalahkan dengan dibawanya jagung oleh para pendahulu suku Inca. Khususnya, Mama Huaco memenangkan pertempuran dengan cara mengeluarkan isi pejuang Hualla di ladang pertama yang akan menyediakan jagung pertama bagi suku Inca. Sama halnya, Garcilaso de la Vega menulis bangsawan suku Inca, berpakaian perang, ”mengeluarkan isi perut bumi sehingga menghasilkan buah”. Hal itu merupakan pertempuran demi hak kesuburan dan produksi lahan sabagaimana Mama Huaco meski harus membunuh jabang bayi yang berada di dalam kandungan wanita Hualla. Lebih jauh, pertempuran ini dikatakan berlangsung di tempat para bangsawan Inca melakukan bajakan pertama, hasil panen yang dipersembahkan untuk mengkultuskan Mama Huaco. Bagi suku Inca, cocok tanam adalah perang, dan pertempuran awal antara manusia dan alam berlangsung antara para pendahulu suku Inca dengan penduduk primitif lembah Cusco. Kemenangan pendahulu suku Inca di Hualla menghasilkan hubungan antara alam dan perkembangan agrikultur.
Ritual Sebagai Penggambaran Kembali Mitos
Essai ini dimulai dengan penggambaran bagaimana setiap tahun para pemimpin suku Inca memimpin penaklukan ladang di Cusco, acara tahuanan ini merupakan awal musim jagung. Produksi cocok tanam di Andes merupakan bentuk metafora dari perang. Ritual jagung suku Inca ditunjukkan dengan pakaian yang dikenakan para elit dalam balutan jubah perang terbaik, dan bedah bumi itu sendiri disesuaikan dengan lagu ceria tentang agrikultur dan peperangan. Di bagian kedua essai ini, saya membicarakan tentang kedatangan pendahulu suku Inca di lembah Cusco sebagaimana tercatat dalam mitos asal usul Pacariqtambo. Pada satu sisi, mitos menceritakan awal mula agrikultur melalui kedatangan Manco Capac dan Mama Huaco membawa jagung di lembah Cusco. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bagaimana ras manusia datang untuk mendominasi alam. Upacara bedah bumi tahuanan di Cusco oleh penguas suku Inca merupakan ritual peringatan pertempuran antara manusia dengan alam. Perang itu, pertempuran antara Manco Capac dan Mama Huaco melawan penduduk asli Cusco, dimenangkan dengan telak, kisah seru nenek moyang elit Cusco.
Kisah ritual dan mitos asal usul tidak diterima begitu saja sebagai bagian terpisah dari masyarakat, hal itu dapat dipahami sebagai hasil dari proses sosial yang luas. Mitos asal usul di masyarakat kuno berkelas berfungsi sebagai sarana penting untuk menjaga hak istimewa para pemimpin. Sumber ketidaksetaraan sosial ditentukan dan ditetapkan melalui tindakan para pahlawan budaya di masa lalu. Peringatan dari kejadian tersebut, disimbolkan dalam konteks ritual, dibangun kembali oleh lingkaran keturunan penguasa elit dengan pribadi dan kegiatan mistik sebagaimana cara mereka melawan dunia.
Para elit Cusco mengembalikan dan mendefinisi ulang hak mereka untuk memimpin melalui control mereka dalam ritual dan dominasi posisi mereka dalam cakupan kosmologi tidak hanya dalam upacara tanam dan panen jagung tapi juga dalam kebanyakan, jika tidak semuanya, perayaan yang dilakukan oleh kerajaan di pusat kotaraja. Sebagai contoh, festival Inti Raymi dan Capac Raymi yang diadakan sekitar bulan Juni dan Desember sebagai titi balik, dalam astronomi merupakan waktu dimana pergerakkan matahari berada di atas khatulistiwa seakan berhenti dan kemudian berganti arah. Di Cusco, waktunya untuk bertanam jagung, Agustus, dan waktunya untuk panen, April, juga ditandai dengan festival utama selama matahari diamati. Ritual ini merefleksikan bagaimana hubungan erat antara agrikultur, matahari, dan penguasa dalam ideologi suku Inca. Penguasa suku Inca merupakan kepala negara dan figur sentral dalam setiap upacara umum yang meliputi penyembahan matahari dan agrikultur. Partisipasi langsung dalam semua upacara ini sebagai sarana pemimpin Cusco menunjukkan posisinya sebagai manusia setengah dewa dan pemilik otoritas mutlak dari kerajaannya. Sebgai figur sentral dalam upacara umum, penguasa suku Inca berdiri sebagai tonggak penghubung antara masyarakat Andes dan kekuatan supranatural di alam sana.
Ada bukti yang menunjukkan ritual serupa dari peringatan suatu mitos yang dilakukan para elit di antara mereka, sebuah suku dan kerajaan yang lebih kuno lagi di daerah Amerika Selatan. Penggalian terakhir di sekitar padang pasir pantai di Peru menunjukkan bukti yang mengejutkan tentang peringatan semacam itu di suku Moche. Pada tahun 1970-an, Donnan mengidentifikasi tema utama gambar grafik suku Moche, yang disebutnya sebagai adegan pengorbanan. Dalam adegan ini, sosok berkepala burung mempersembahkan secangkir darah kepada sosok yang bersinar ketika sosok lain melihat. Hal ini dianggap bahwa adegan pengorbanan merupakan kejadian yang hanya mitos belaka samapai penggalian di situs Sipain tahun 1987 mengungkapkan makam sosok bangsawan terkemuka menggunakan jubah kebesaran dalam adegan tersebut. Penemuan ini mengindikasikan adegan, berdasarkan pada peristiwa mistis, merupakan peringatan pewarisan tahta di antara para elit suku Moche. Jelaslah sekarang, penguasa suku Moche, seperti para pendahulu suku Inca, menunjukkan status suci mereka melalui hubungannya dengan makhluk supranatural, dan kebanyakan dari ritual wajib yang penting bagi mereka merupakan peringatan kemenangan nenek moyang mereka.
Kesimpulan
Mitos asal usul mengungkapkan tidak hanya ungkapan hubungan dasar antara masyarakat tapi juga pengesahan aturan kemsyarakatan saat ini. Dalam masyaraat yang kompleks, dan khususya dalam kerajaan dengan penguasa setengah dewa, hal ini dapat diterima. Pahlawan dalam mitos bukanlah sosok yang tidak diketahui di masa lalu, tapi nenek moyang langsung dari elit penguasa. Tindakan para elit agar kisah di masa lalu membawa mereka pada strata sosial tertentu, dan aksi tersebut diulang dalam ritual yang dirasakan setiap individu sebagai keturunannya. Oleh karenanya, batasan umum ideologi, ritual, dan mitos biasanya mendukung posisi istimewa para elit penguasa, dan melalui itu, kekuatan suatu kerajaan menjadi bercampur jadi satu dengan pemeliharaan batasan sosial. Sebagaimana akses terhadap sumber, tanah, dan buruh secara perlahan berpusat dalam genggaman beberapa orang, sehingga mampu untuk mengatur, memimpin, dan partisipasi dalam upacara ritual yang memerlukan masa lalu yang mistik menjadi berarti. Sentralisasi kekuasaan dan otoritas di masyarakat kuno mungkin berjalan bersamaan dengan kemampuan para pemimpin melegitimasi kekuasaan mereka melalui mitos dan ritual. Penggunaan dongeng masa lalu oleh para elit masyarakat mungkin merupakan cara terbaik dalam melegitimasi otoritas dimana kebutuhan masyarakat ditentukan.
B. Kritik dan Pertanyaan
Dalam essai ini, penulis banyak menampilkan data dari penulis lain, apakah memang penelitiannya memang menggunakan data sekunder dan tidak menggunakan data lapangan? Mengapa di dalam essai ini tidak dideskripsikan bagaimana ritual itu berjalan, perlengkapan apa saja yang digunakan, dan siapa pesertanya? Adakah penggunaan alat yang sama dengan dengan saat Mama Huaco mengetes tanah pertama kali, dimana alat itu untuk memperkuat legitimasi itu? Seperti yang terjadi di Jawa, alat yang sama yang digunakan oleh nenek moyang akan semakin memperkuat kepercayaan dan legitimasi itu. Apakah deskripsi ritual itu tidak penting untuk mendukung tulisan, untuk menunjukkan seberapa kuat ritual itu mampu menjadi alat legitimasi para elit?
Bahwa petani tidak berani memulai untuk membuka tanah sebelum kaum elit mengadakan ritual pembukaan tanah karena diyakini tanamannya tidak akan berbuah. Apakah ada data yang menunjukkan pernah adanya kasus tersebut? Atau memang tidak ada karena di dalam essai tidak disebutkan.
Apakah ritual itu hingga sekarang masih berlangsung dan memiliki fungsi yang sama? Ataukah sudah bergeser sebagai ritual kebiasaan tahunan yang tak ”bermakna”?
Dalam esai disebutkan bahwa pembukaan tanah diawali oleh kelompok elit, kemudian lumbung jagung juga ditempatkan di daerah administrasi kerajaan. Apakah dengan demikian seluruh perputaran dan perdagangan jagung dimonopoli oleh kerajaan? Karena pada umumumnya, legitimasi mengarah kepada kekuasaan, kekuatan, dan kedudukan sosial, yang kemudian berimplikasi kepada ekonomi. Apakah mitos di Inca tersebut juga berimplikasi kepada monopoli jagung secara ekonomi oleh kerajaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar