Kamis, 18 Desember 2008

Mitos

LEGITIMASI NEGARA DI INCA: MITOS DAN RITUAL

Review

A. Ringkasan Isi

Peranan ideologi dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat berkelas menjadi sebuah pertanyaan penelitian yang diperdebatkan secara luas dalam ilmu sosial. Dalam kurun waktu 20 tahun terdapat perubahan dalam melihat agama sebagai dorongan ephifenomena dan pembentukan warga negara, dan melalui sebuah perspektif yang menekankan “peranan ideologi dalam legitimasi wewenang kekayaan dan kekuasaan”. Contoh dari trend ini adalah sebuah serial buku edisi terbaru dan revisi yang menjelaskan peranan ideologi dalam perkembangan masyarakat yang kompleks di Amerika dan tempat lain. Seperti kata Paul Frederich, ”ideologi adalah sebuah sistem atau paling tidak campuran dari ide, strategi, taktik, dan simbol praktek untuk promosi, mengajak, atau mengubah permintaan sosial dan kultural. Secara luas ini merupakan tindakan dalam ide politik, sedangakan beberapa ideologi khusus sering terlihat sebagai siratan keinginan dari beberapa group sosial atau kelas. Mereka ssecara berkelanjutan didefinisikan kembali dan dibentuk kembali oleh oknum individu sosial. Hubungan erat beberapa kajian terakhir menunjukkan beberapa tipe mitos mempengaruhi arah sejarah, sebagai kelompok individu secara aktif memanipulasi mitos untuk menunjukkan alasan mereka sendiri dan menggunakannya untuk menjelaskan pertunjukkan khusus.

Dalam essai ini, saya membicarakan bagaimana ritual tanam dan panen jagung dipertunjukkan di Cusco, ibukota dari Inca, yang digunakan oleh penguasa untuk menunjukkan status elit mereka. Saya kemudian menunjukkan bahwa ritual ini memberlakukan kembali penaklukan legendaris sebuah wilayah oleh Manco Capac dan Mama Huaco, penyihir pertama Inca. Dalam hal ini saya mengilustrasikan bagaimana diantara kelas masyarakat kuno, mitos dan ritual diberlakuan kembali. Mereka memnunjukkan dan mengabadikan kekuatan dasar dari para elit dengan mengidentifikasi mereka dengan kekuatan organik reproduksi dan dengan menyarankan sistem hirarkis dimana fungsi masyarakat sebagai bagian dari permintaan alami berdiri sejak awal sejarah manusia. Sebagaimana di tempat lain, di pusat Andes di Peru, mitos digunakan untuk memajukan perkembangan dan pengabadian hirarki sosial dengan menyediakan para elit, akses menuju kekuasaan di luar jangkauan perorangan pada umumnya. Akses untuk supernatural dikukuhkan dalam mitos dari masa lalu dan ditunjukkan pada masa kini dengan ritual, melegitimasi klasifikasi para elit sebagai manusia superior dan berbeda. Dalam pandangan ini, perkembangan sistem mitologi dan ritual yang mendukung penguasaan elit terhadap kekuasaan merupakan elemen kritis dari kepemimpinana dan ketatanegaraan yang sukses.

Agrikultur Sebagai Peperangan Antara Inca

Jagung merupakan hasil panen yang terpenting dalam kerajaan Inca. Jagung merupakan sumber utama nutrisi dan bahan dasar untuk bir jagung yang disebut chicha, yang dikonsumsi dalam semua ritual. Produksi jagung di kerajaan Inca terdapat di setiap level sosioekonomi. Jagung merupakan tanaman makanan pokok bagi komunitas petani yang bertempat antara 2.600-3.600 m di atas permukaan laut. Desa yang berada di bawah atau di atas zona produksi itu menukarkan hasil produksi mereka dengan jagung, atau mencari akses langsung untuk mendapatkan jagung melalui pendirian koloni di daerah yang cocok untuk bertanam jagung. Jagung juga merupakan upeti utama yang diberikan kepada kerajaan. Tumbuh di lahan yang berada di bawah pengawasan negara dengan mempekerjakan buruh paksa (mat’a), jagung disimpan di lumbung besar yang didirikan di sekitar pusat administrasi daerah Inca. Para dewa utama Inca – matahari, bulan, bintang, guruh, dan kilat – menjaga lahan jagung yang luas. Hasil produksinya digunakan untuk mendukung pengkultusan para dewa.

Musim tanam jagung di daerah Cusco mulai pada pertengahan Oktober sampai awal Mei. Lahan dibajak pada bulan Agustus sebelum awal tanam dan dipanen beberapa minggu setelah jagung telah mulai mengering di lahan. Pembalikan tanah (pembajakan) di bulan Agustus memulai peredaran jagung yang berakhir delapan bulan kemudian dengan pemotongan bonggol jagung kering dan panen. Kalender seremonial menunjukkan, berdasarkan perputaran matahari, hari yang pasti dimana raja memulai ritual musim tanam jagung dengan membajak dan menanam di lahan suci. Dua catatan sejarah menunjukkan bahwa hari dimana turun bajak pertama ditentukan dengan terbenamnya matahari di antara dua pilar besar di bukit Picchu yang terlihat dari pusat Cusco. Ritual bajak dihubungkan dengan peristiwa ini merupakan salah satu upacara tahunan yang sangat penting yang diadakan di ibukota Inca.

Garcilaso de la Vega memberikan gambaran menyeluruh dari ritual bajak jagung dan mengindikasikan selama ia berada di kota kerajaan, dia melihat upacara penggaruan yang meriah dua sampai tiga kali. Dia mencatat upacara itu dilakukan di sebuah lahan di Collcampata, di sektor Cusco, sekarang disebut San Cristobal, di lereng bukit Sacsahuaman. Garcilaso de la Vega menyatakan bahwa ritual bajak diadakan di Collcampata karena menurut mitologi Inca, merupakan lahan pertama yang diperuntukkan bagi matahari. Sejak Collcampata menjadi istana dari legenda Inca pertama, Manco Capac, persembahan lahan ini kepada matahari lebih dipercaya oleh masyarakat Inca setelah penaklukan ajaibnya di lembah Cusco. Garcilaso de la Vega menulis:

Tanah ini dibentuk dan dijaga oleh mereka yang berdarah biru, dan tidak seorang pun kecuali para masyarakt Inca dan Palla (wanita berdarah biru) yang bisa mengolahnya. Pekerjaan itu dilakukan dengan perayaan yang megah, khususnya pada masa bajak, ketika masyarakat Inca berdandan lengkap dengan semua lencana jabatan dan perhiasan mereka. Lagu yang mereka bawakan sebagai pemujaan terhadap matahari dan raja mereka dalam bahasa Haili, yang berarti kemenangan di semua tanah, yang mereka bajak dan kesuburuan sehingga mampu menghasilkan buah. Lagu tersebut juga termasuk sajak elegan oleh pujangga cinta dan prajurit yang gagah berani menjadi subjek kemenangan mereka melalui tanah yang mereka bajak. Refrain dari setiap sajak adalah kata “hailly”, diulang sebanyak yang dibutuhkan sebagai tanda beat dari ritme tertentu, seperti gerakan yang dilakukan suku Indian dengan mengangkat dan menjatuhkan peralatan mereka, agar lebih mudah mencangkul tanah.

Sebagaimana diterangkan oleh Zuidema dan van de Guchte, masyarakat Inca menghubungkan perang dan agrikultur secara dekat. Hubungan ini diperjelas dengan pilihan kata Garcilaso de la Vega yang sangat hati-hati ”mengeluarkan isi perut” (disembowel) untuk menggambarkan persiapan lahan untuk cocok tanam. Tanah terlihat seperti dikalahkan, dibelah, dan bagian dalamnya dikeluarkan selama pembajakan. Hubungan anatara perang dan agrikultur dibuat tanpa banyak pertanyaan dengan haylli, yang dinyanyikan selama perayaan.

Kata haylli diterjemahkan oleh beberapa penulis modern sebagai ”lagu kemenangan”, tapi kamus Peru yang terdahulu, termasuk Domingo de Santo Tomas dan Arte y Vocabulario, secara khusus menyatakan bahwa lagu tersebut dinyanyikan pada waktu perang dan selama bercocok tanam. Penulis Spanyol yang terdahulu Gonsalez Holguin menyediakan banyak pernyataan bahwa istilah tersebut berhubungan dengan perang dan agrikultur, termasuk ”Haylli, lagu gembira di peperangan atau lubang lahan selesai dibuat dan terkalahkan. Penulis asli terdahulu dari Andes, Pachacuti Yamoui Salcamayhua menunjukkan bahwa haylli dapat dinyanyikan setelah peperangan yang sukses atau pada malam untuk mengharapkan kemenangan. Untuk mensugesti hal itu haylli dinyanyikan di Cusco saat berakhirnya pawai kemenangan Tupa Inca Yupanqui di bagian utara tanah tinggi Andean, dan oleh jenderal Inca Challchima dan Quisquis setelah ramalan menyatakan bahwa Atahualpa akan mengambil alih kekuasaan di seluruh kerajaan dengan mengkudeta saudara tirinya Huascar.

Demikian juga ada banyak referensi dokumen pada akhir abad 16 dan awal abad 17 dari Peru yang mengindikasikasikan bahwa haylli dinyanyikan pada awal dan akhir musim jagung. Tidak seperti catatan sejarah Garcilaso de la Vega, meskipun, dokumen lain umumnya menyatakan bahwa belah bumi pertama sama seperti panen pertama, diadakan di chacara (ladang) di timur Cusco bernama Sausero. Bernabe Cobo, pendeta Jesuit yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Peru, memberikan tiga referensi penting mengenai ladang di Sausero dan upacara jagung yang bertempat di sana. Yang pertama termasuk gambarannya mengenai sistem ceque Cusco, sebuah jaringan dari 328 kuil yang mengelilingi kota Cusco

Yang ketiga dinamakan Sausero. Merupakan chacara untuk keturunan Paullu Inca dimana, saat musim tabur, raja sendiri yang mengawali penanaman. Yang hasil panennya dipersembahkan untuk matahari. Hari dimana suku Inca melakukan festival khidmat untuk semua pemimpin di Cusco. Mereka membuat pengorbanan besar pada tempat datar ini, khusunya perak, emas, dan anak-anak.

Di bagian lain dalam catatan sejarahnya, Cobo menggambarkan ritual tanam jagung bertempat di Sausero lebih detail. Dia menulis bahwa di bulan kesembilan setiap tahunnya ada banyak pengorbanan, termasuk Ilamas (disebut domba oleh orang-orang Spanyol) dan kelinci besar, dibuat di Sausero sebelum tanam jagung dapat dimulai:

Domba-domba ini merupakan hasil ternak dari (suku Inca dan) matahari, dan dengan pengorbanan ini chacara beranama Sausero ditebar. Proses penanaman bibit dilakukukan dengan penuh kekhidmatan karena chacara ini milik matahari. Dimana hasil panennya untuk pengorbanan bagi matahari. Selama waktu tersebut penanaman bibit selesai, di tengah-tengah ladang ada domba putih bertelinga emas, dan bersama dengan domba tersebut terdapat banyak suku Indian dan mamaconas (wanita suci) dimana matahari menyiramkankan banyak chicha atas nama domba tersebut. Setelah selesai penaburan, ribuan cuis (kelinci besar) dibawa dari banyak provinsi.... pengorbanan ini diperuntukkan bagi musim dingin, angin, dan matahari, dan untuk semua hal yang terlihat mampu menumbuhkan tanaman mereka atau merusaknya.

Seperti bajak pertam di Sausero di bulan agustus, panen jagung juga ditandai dengan ritual besar. Mengacu pada Cobo, panen biasanya diawali oleh remaja laki-laki yang telah ditasbihkan menjadi lelaki dewasa. Pejuang muda didanadani komplit dan menyanyikan haylli seperti mereka memanen ladang. Kemudian ladang kembali dibajak oleh bangsawan Inca, yang memakai jubah yang mereka dapatkan saat memenangi perang.

Cobo bukan satu-satunya pencatat sejarah yang menulis hal penting yang terjadi di Sausero. Cristobal de Molina, yang telah lama menjadi pendeta di rumah sakit untuk pribumi di Cusco, juga menulis upacara tanam dan panen yang berlangsung di sana. Penjelasannya mengenai ritual di Sausero sangat menarik karena mendukung klaim Cobo bahwa panen dimulai dengan pentasbihan laki-laki dewasa baru di Cusco dan juga memberikan informasi letak ladang. Hanya saja tidak seperti Cobo, yang menyatakan bahwa panen jagung di Sausero dipersembahkan untuk matahari, Molina menyatakan bahwa hasil panen dipersembahkan sebagai pengkultusan Mama Huaco, saudara perempuan istri Manco Capac. Lebih jauh, Molina mencatat bahwa upacara jagung dilaksanakan pada ladang tersebut karena merupakan tempat penemu legendaris Cusaco menanam jagung pertama kali:

Mereka menamakn bulan April Ayrihuay. Dimana mereka memanen ladang dan mengumpulkannya dan membawanya, yang disebut Aymuray. Dan para lelaki yang menerima senjata pergi ke ladang di Sausero untuk membawa maizena yang telah dipanen, di suatu tempat dimana mereka memanggil Mama Huaco, saudara perempuan Manco Capac, suku Inca pertama, meanburkan maizena pertama. Ladang yang setiap tahunnya dihormati sebagai penjelmaan Mama Huaco. Terbuat dari maizena, chicha yang penting bagi persembahan.

Tempat yang disebutkan oleh Molina dalam kutipan ini adalah Arco Punco (juga disebut Arco de la Plata). Meskipun tempat tersebut telah dihancurkan, sebuah jalan di Cusco sebelah timur Limacpampa masih menyisakan namanya, dan letak tempat yang terdahulu diindikasikan di peta Cusco milik Wiener. Daerah di bawah tempat tersebut masuk dalam sektor Cusco dekat ujung bandara lama. Gambaran Molina mengenai lokasi Sausero didukung oleh penduduk tertua Cusco yang masih ingat daerah yang disebut dengan nama itu. Lebih jauh, Agurto Calvo, Sherbondy, dan Ardiles Nieves masing-masing menyatakan kalau Sausero berlokasi di daerah tersebut.

Bartolome de Segovia mengamati upacara panen jagung di Cusco bulan April 1535, hanya tiga tahun setelah kedatangan bangsa Spanyol di Cusco. Dengan mata kepalanya sendiri dia menggambarkan bangsawan suku Inca pergi dari kota menuju tempat di arah matahari terbit. Ada lebih dari 600 bangsawan berdandan mewah berbaris dalam dua barisan menunggu matahari. Saat matahari terbit mereka mulai bernyanyi. Mereka menaikkan volume nyanyian mereka sampai tengah hari dimana sinarnya sangat kuat. Kemudian mereka menurunkan suara mereka ketika matahari mulai terbenam. Segovia juga menggambarkan ritual cocok tanam di Cusco, penguasa kerajaan Inca yang pertama kali melakukan cangkul bumi. Setelah penguasa suku Inca memulai, ladang dikerjakan oleh berbagai bangsawan. Segovia menulis, “jika suku Inca tidak melakukannya, tidak satu Indian pun berani melakukannya, atau mereka percaya tanaman tidak akan tumbuh jika suku Inca tidak melakukannya.

Informasi sekitar ritual tabur benih dan panen jagung suku Inca juga dibahas oleh Felipe Guaman Poma de Alaya, penulis asli dari daerah Huanaco di utara pusat Andes, diketahui telah mengunjungi Cusco. Seperti penulis lainnya, dia menekankan pentingnya lagu dinyanyikan selama ritual tanam jagumg. Lebih jauh, dua gambar Guaman Poma de Alaya mengilustrasikan penguasa suku Inca menggarap ladang bersama tiga bangsawan di bulan Agustus. Para lelaki dibantu oleh empat wanita yang membantu menanam bibit. Saat mereka bekerja mereka menyanyikan haylli.

Referensi ini mengilustrasikan perumpamaan perang antara manusia melawan alam dalam ritual dramatis. Dalam kata-kata van de Guchte, “bagi suku Inca tanah penting untuk ditaklukkan”. Setiap tahun, pada awl putaran agrikultur, suku Inca, ditemani oleh saudara perempuan, istri dan bawahannya, membajak ladang jagung pertama. Ritual ini disimbolkan dalam bahasa peperangan. Suku Inca, seorang raja pahlawan, membajak lahan, secara ritual mengalahkan dan mengeluarkan isi bumi. Selama upacara yang kompleks ini hayllis ceria dalam perang dan penanaman dinyanyikan. Delapan bu1lan kemudian, jagung yang matang dipanen diawali dengan pentasbihan peajuang baru di masyarakat dan persiapan untuk memulai musim cocok tanam selanjutnya. Ritual ini diulang setiap tahunnya, ketika hal tersebut masih dipercaya oleh suku Inca sebagai bentuk mempererat hubungan manusia dengan alam dan akhir yang baik dari setiap putaran musim tanam.

Selama ritual jagung di Cusco penguasa suku Inca dipandang sebagai figure penguasa besar. Dialah yang memiliki kekuatan untuk mengalahkan dan menangkap kekuatan subur dari dalam untuk masyarakat. Karenanya dialah yang memulai cangkul bumi pertama. Faktanya, penguasa suku Inca hanyalah seseorang dalam kerajaan yang mencari legitimasi dan pengakuan atas kehebatan diantara para elit Cusco.

Asal Mula Agrikultur dan Dongeng Penaklukkan Cusco

Mitos merupakan cara melihat suatu fenomena sosial yang muncul sebagai hasil suatu kejadian yang terjadi sebelumnya, biasanya terjadi dalam kurun waktu di masa lalu. Mitos asli Pacariqtambo dari suku Inca dimulai dengan kemunculan Manco Capac dan saudaranya yang bangsawan dan para istri mereka dari gua di selatan lembah Cusco di wilayah Pacariqtambo. Dalam mitos diceritakan perjalanan Manac Capac dari Pacariqtambo menuju lembah Cusco dan peperangan yang terjadi antara pendahulu suku Inca ini dengan penduduk asli setempat. Catatan sejarah Sarmiento de Gamboa berdasarkan pada informasi yang dikumpulkan di Cusco tahun 1572, menjelaskan secara terperinci mitos asal-usul Pacariqtambo. Seperti kebanyakan mitos asal-usul, mitos Pacariqtambo dapat dianalisis dari berbagai macam perspektif. Urton dan saya telah menganalisa kisah perjalanan pendahulu suku Inca ke lembah Cusco dan peranan Manco Capac sebagai raja asing. Di sini, saya akan menganalisa mitos yang sama dalam hubungannya dengan asal-usul agrikultur dan ritual tanam dan panen jagung di Cuscoa.

Sarmiento de Gamboa menulis sekitar enam liga (kira-kira 33 km) dari Cusco ada tempat bernama Pacariqtambo, dimana ada bukit bernama Tambotoco dengan tiga jendela atau gua. Gua-gua tersebut bernama Marastoco, Sutictoco, dan Capactco. Empat laki-laki dan empat perempuan, para pendahulu suku Inca, diceritakan muncul dari gua di tengah yang disebut Capactoco. Yang laki-laki bernama Manco Capac, Ayar Auca, Ayar Cache dan Ayar Ucho, sedang yang perempuan bernama Mama Ocllo, Mama Huaco, Mama Ipacura dan Mama Raua. Kedelapan suku Inca tersebut diceritakan memulai perjalanan menuju lembah Cusco membawa berbagai macam barang termasuk peralatan dari emas, seekor Ilamas suci, dan biji-biji jagung. Mereka mengunjungi banyak tempat dalam perjalan mereka ke utara mencari tanah untuk bercocok tanam yang baik. Selama perjalanan mereka semua saudara laki-laki kecuali Manco Capac mengalami nasib sial. Ayar Cache jatuh ke dalam gua dan Ayar Auca dan Ayar Ucho berubah menjadi batu. Hanya Manco Capac dan kempat saudara perempuannya yang tiba di lembah Cusco. Setelah mereka menuruni lembah, Manco Capac dan Mama Huaco menguji tanah dengan suatu alat untuk mencari bagian yang subur. Legenada tersebut menurut Sarmiento Gamboa berlanjut:

Mereka terus mencari, menguji tanah dengan tongkat, alat dan menciumnya, sampai mereka tiba di Huanaypata, dan mereka merasa puas. Mereka menganggap tanah itu subur, karena menaburi terus-menerus, dan selalu mengeluarkan mata air, dan memberikan lebih dan lebih ketika ditaburi dan setelah tanaman tidak ditaburi. Mereka memutuskan untuk menduduki tanah tersebut dan menundukkan penduduknya dengan paksaan, meskipun mereka pemilik dan penduduk asli tempat itu.....

Dan kedatangan di tanah Huaypata, dekat dengan yang sekarang disebut Arco de la Plata, jalan di Charcasmereka menatap di sana tempat yang disebut oleh penduduk asli Indian sebagai Huallas....dan Manco Capac dan Mama Huaco mulai menetap dan menduduki tanah dan air melawan keinginan para penduduk Huallas. Di sana mereka melakukan banyak aksi buruk penuh kekerasan. Dan karena para penduduk Huallas bersatu mempertahankan hidup dan tanah mereka, Mama Huaco dan Manco Capac melakukan banyak kejahatan dalam melawan mereka. Dan mereka mengatakan bahwa Mama Huaco sangat jahat, dia membunuh salah satu penduduk Indian Hualla, membelahnya dan mengeluarkan isi perutnya, dan menaruh jantung dan paru-paru orang tersebut di dalam mulutnya, dan dengan haybinto – sebuah batu yang diikat dengan tali yang dia gunakan untuk melawan – dia melawan penduduk Huallas dengan tekad yang kejam. Dan saat penduduk Huallas melihat kejadian yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan itu, mereka ketakutan, sehingga meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mama Huaco melihat kejahatan yang telah mereka lakukan menjadi takut dianggap sebgai tirani, memutuskan untuk tidak membiarkan para penduduk Huallas pergi... dan membunuh mereka semua, mengambil semua bayi dalam kandungan ibunya sehingga tidak ada kenangan yang tersisa tentang para penduduk Huallas yang menderita.....

(Para penerus suku Inca) kembali ke Huanaypata, tanah yang mereka rebut dari penduduk Huallas. Dan dari benih yang mereka tabur mereka mengumpulkan maizena yang baik.

Kisah di atas menceritakan kedatangan suku Inca pertama kali di lembah Cusco dan pertempuran mereka dengan penduduk asli Huallas demi ladang di Huanaypata. Selama peperangan yang mengerikan ini Mama Huaco membunuh dan mengeluarkan isi perut seorang pejuang Hualla. Sehingga Mama Huaco berusaha untuk membunuh semua penduduk asli tersebut, sampai harus mengambil jabang bayi dalam kandungan ibunya. Setelah berhasil menduduki lembah Cusco, Manco Capac dan Mama Huaco menanam bibit jagung pertama di ladang Huanaypata dan memanen banyak sekali.

Juan de Betanzos, telah lama tinggal di Cusco dan salah satu penulis awal catatan sejarah Peru, mencatat versi lain dari kisah penaklukkan lembah Cusco. Yang terpenting dalam kajian ini adalah Betanzos juga menyebutkan kebrutalan Mama Huaco dalam melawan penduduk asli Hualla. Dia mencatat, meskipun, para Hualla menanam cokelat dan lada di lembah, hal ini merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima, karena lembah Cusco terletak 3.300 m, terlalu tinggi untuk tanaman tropis.

Juga perlu untuk digarisbawahi bahwa ladang di Huanaypata, daerah subur dimana peralatan emas Manco Capac pertama kali terbenam ke dalam tanah dan dimana Mama Huaco menangkap dan membelah tubuh pejuang Hualla, terletak di dekat ladan Sausero, dimana jagung biasanya ditanam dan dipanen oleh para penguasa Inca. Baik Sarmiento de Gamboa dan Molina menjeaskan lahan ini di bawah tempat yang dintadai di pintu masuk Cusco di sebelah timur selama periode awal kolonisasi. Lebih jauh, Molina menulis bahwa Mama Huaco dipercaya sebagai penyebar bibit jagung pertama di ladang Sausero, dan panen tahunan dari ladang ini untuk memujanya. Jelaslah bahwa ladang di Huanaypata dan Sausero berhubungan dengan cocok tanam jagung pertama kali di Cusco dan peperangan Mama Huaco melawan penduduk asli di lembah tersebut.

Kemunculan Manco Capac dari gua Tambotoco dan kemenangan atas penduduk Asli Cusco oleh Mama Huaco telah lama dianggap sebagai cara bagaimana suku Inca menduduki daerah tersebut. Meskipun saya setuju dengan hal ini, saya percaya mitos ini juga menjelaskan bagaimana alam pertama kali dijinakkan oleh masyarakat. Berdasarkan pada mitos, jagung diberikan kepada manusia saat para pendahulu suku Inca muncul dari Pacariqtambo. Manco Capac dan saudara kandung bangsawannya tiba di lembah Cusco membawa biji tersebut. Ketika memasuki lembah, mereka merasa harus menempatinya. Mitos versi Betanzos menceritakan para penduduk asli lembah menanam cokelat dan merica, keduanya hasil hutan. Penduduk asli lembah itu, dalam kata lain, primitif (asli) dan liar (hutan), dan hal tersebut merupakan analogi dari kekuatan alam. Kekuatan ini dikalahkan dengan dibawanya jagung oleh para pendahulu suku Inca. Khususnya, Mama Huaco memenangkan pertempuran dengan cara mengeluarkan isi pejuang Hualla di ladang pertama yang akan menyediakan jagung pertama bagi suku Inca. Sama halnya, Garcilaso de la Vega menulis bangsawan suku Inca, berpakaian perang, ”mengeluarkan isi perut bumi sehingga menghasilkan buah”. Hal itu merupakan pertempuran demi hak kesuburan dan produksi lahan sabagaimana Mama Huaco meski harus membunuh jabang bayi yang berada di dalam kandungan wanita Hualla. Lebih jauh, pertempuran ini dikatakan berlangsung di tempat para bangsawan Inca melakukan bajakan pertama, hasil panen yang dipersembahkan untuk mengkultuskan Mama Huaco. Bagi suku Inca, cocok tanam adalah perang, dan pertempuran awal antara manusia dan alam berlangsung antara para pendahulu suku Inca dengan penduduk primitif lembah Cusco. Kemenangan pendahulu suku Inca di Hualla menghasilkan hubungan antara alam dan perkembangan agrikultur.

Ritual Sebagai Penggambaran Kembali Mitos

Essai ini dimulai dengan penggambaran bagaimana setiap tahun para pemimpin suku Inca memimpin penaklukan ladang di Cusco, acara tahuanan ini merupakan awal musim jagung. Produksi cocok tanam di Andes merupakan bentuk metafora dari perang. Ritual jagung suku Inca ditunjukkan dengan pakaian yang dikenakan para elit dalam balutan jubah perang terbaik, dan bedah bumi itu sendiri disesuaikan dengan lagu ceria tentang agrikultur dan peperangan. Di bagian kedua essai ini, saya membicarakan tentang kedatangan pendahulu suku Inca di lembah Cusco sebagaimana tercatat dalam mitos asal usul Pacariqtambo. Pada satu sisi, mitos menceritakan awal mula agrikultur melalui kedatangan Manco Capac dan Mama Huaco membawa jagung di lembah Cusco. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bagaimana ras manusia datang untuk mendominasi alam. Upacara bedah bumi tahuanan di Cusco oleh penguas suku Inca merupakan ritual peringatan pertempuran antara manusia dengan alam. Perang itu, pertempuran antara Manco Capac dan Mama Huaco melawan penduduk asli Cusco, dimenangkan dengan telak, kisah seru nenek moyang elit Cusco.

Kisah ritual dan mitos asal usul tidak diterima begitu saja sebagai bagian terpisah dari masyarakat, hal itu dapat dipahami sebagai hasil dari proses sosial yang luas. Mitos asal usul di masyarakat kuno berkelas berfungsi sebagai sarana penting untuk menjaga hak istimewa para pemimpin. Sumber ketidaksetaraan sosial ditentukan dan ditetapkan melalui tindakan para pahlawan budaya di masa lalu. Peringatan dari kejadian tersebut, disimbolkan dalam konteks ritual, dibangun kembali oleh lingkaran keturunan penguasa elit dengan pribadi dan kegiatan mistik sebagaimana cara mereka melawan dunia.

Para elit Cusco mengembalikan dan mendefinisi ulang hak mereka untuk memimpin melalui control mereka dalam ritual dan dominasi posisi mereka dalam cakupan kosmologi tidak hanya dalam upacara tanam dan panen jagung tapi juga dalam kebanyakan, jika tidak semuanya, perayaan yang dilakukan oleh kerajaan di pusat kotaraja. Sebagai contoh, festival Inti Raymi dan Capac Raymi yang diadakan sekitar bulan Juni dan Desember sebagai titi balik, dalam astronomi merupakan waktu dimana pergerakkan matahari berada di atas khatulistiwa seakan berhenti dan kemudian berganti arah. Di Cusco, waktunya untuk bertanam jagung, Agustus, dan waktunya untuk panen, April, juga ditandai dengan festival utama selama matahari diamati. Ritual ini merefleksikan bagaimana hubungan erat antara agrikultur, matahari, dan penguasa dalam ideologi suku Inca. Penguasa suku Inca merupakan kepala negara dan figur sentral dalam setiap upacara umum yang meliputi penyembahan matahari dan agrikultur. Partisipasi langsung dalam semua upacara ini sebagai sarana pemimpin Cusco menunjukkan posisinya sebagai manusia setengah dewa dan pemilik otoritas mutlak dari kerajaannya. Sebgai figur sentral dalam upacara umum, penguasa suku Inca berdiri sebagai tonggak penghubung antara masyarakat Andes dan kekuatan supranatural di alam sana.

Ada bukti yang menunjukkan ritual serupa dari peringatan suatu mitos yang dilakukan para elit di antara mereka, sebuah suku dan kerajaan yang lebih kuno lagi di daerah Amerika Selatan. Penggalian terakhir di sekitar padang pasir pantai di Peru menunjukkan bukti yang mengejutkan tentang peringatan semacam itu di suku Moche. Pada tahun 1970-an, Donnan mengidentifikasi tema utama gambar grafik suku Moche, yang disebutnya sebagai adegan pengorbanan. Dalam adegan ini, sosok berkepala burung mempersembahkan secangkir darah kepada sosok yang bersinar ketika sosok lain melihat. Hal ini dianggap bahwa adegan pengorbanan merupakan kejadian yang hanya mitos belaka samapai penggalian di situs Sipain tahun 1987 mengungkapkan makam sosok bangsawan terkemuka menggunakan jubah kebesaran dalam adegan tersebut. Penemuan ini mengindikasikan adegan, berdasarkan pada peristiwa mistis, merupakan peringatan pewarisan tahta di antara para elit suku Moche. Jelaslah sekarang, penguasa suku Moche, seperti para pendahulu suku Inca, menunjukkan status suci mereka melalui hubungannya dengan makhluk supranatural, dan kebanyakan dari ritual wajib yang penting bagi mereka merupakan peringatan kemenangan nenek moyang mereka.

Kesimpulan

Mitos asal usul mengungkapkan tidak hanya ungkapan hubungan dasar antara masyarakat tapi juga pengesahan aturan kemsyarakatan saat ini. Dalam masyaraat yang kompleks, dan khususya dalam kerajaan dengan penguasa setengah dewa, hal ini dapat diterima. Pahlawan dalam mitos bukanlah sosok yang tidak diketahui di masa lalu, tapi nenek moyang langsung dari elit penguasa. Tindakan para elit agar kisah di masa lalu membawa mereka pada strata sosial tertentu, dan aksi tersebut diulang dalam ritual yang dirasakan setiap individu sebagai keturunannya. Oleh karenanya, batasan umum ideologi, ritual, dan mitos biasanya mendukung posisi istimewa para elit penguasa, dan melalui itu, kekuatan suatu kerajaan menjadi bercampur jadi satu dengan pemeliharaan batasan sosial. Sebagaimana akses terhadap sumber, tanah, dan buruh secara perlahan berpusat dalam genggaman beberapa orang, sehingga mampu untuk mengatur, memimpin, dan partisipasi dalam upacara ritual yang memerlukan masa lalu yang mistik menjadi berarti. Sentralisasi kekuasaan dan otoritas di masyarakat kuno mungkin berjalan bersamaan dengan kemampuan para pemimpin melegitimasi kekuasaan mereka melalui mitos dan ritual. Penggunaan dongeng masa lalu oleh para elit masyarakat mungkin merupakan cara terbaik dalam melegitimasi otoritas dimana kebutuhan masyarakat ditentukan.

B. Kritik dan Pertanyaan

Dalam essai ini, penulis banyak menampilkan data dari penulis lain, apakah memang penelitiannya memang menggunakan data sekunder dan tidak menggunakan data lapangan? Mengapa di dalam essai ini tidak dideskripsikan bagaimana ritual itu berjalan, perlengkapan apa saja yang digunakan, dan siapa pesertanya? Adakah penggunaan alat yang sama dengan dengan saat Mama Huaco mengetes tanah pertama kali, dimana alat itu untuk memperkuat legitimasi itu? Seperti yang terjadi di Jawa, alat yang sama yang digunakan oleh nenek moyang akan semakin memperkuat kepercayaan dan legitimasi itu. Apakah deskripsi ritual itu tidak penting untuk mendukung tulisan, untuk menunjukkan seberapa kuat ritual itu mampu menjadi alat legitimasi para elit?

Bahwa petani tidak berani memulai untuk membuka tanah sebelum kaum elit mengadakan ritual pembukaan tanah karena diyakini tanamannya tidak akan berbuah. Apakah ada data yang menunjukkan pernah adanya kasus tersebut? Atau memang tidak ada karena di dalam essai tidak disebutkan.

Apakah ritual itu hingga sekarang masih berlangsung dan memiliki fungsi yang sama? Ataukah sudah bergeser sebagai ritual kebiasaan tahunan yang tak ”bermakna”?

Dalam esai disebutkan bahwa pembukaan tanah diawali oleh kelompok elit, kemudian lumbung jagung juga ditempatkan di daerah administrasi kerajaan. Apakah dengan demikian seluruh perputaran dan perdagangan jagung dimonopoli oleh kerajaan? Karena pada umumumnya, legitimasi mengarah kepada kekuasaan, kekuatan, dan kedudukan sosial, yang kemudian berimplikasi kepada ekonomi. Apakah mitos di Inca tersebut juga berimplikasi kepada monopoli jagung secara ekonomi oleh kerajaan?

Mitos

MAKAM IMOGIRI, UPACARA, DAN MITOS-MITOS

DI SEKITAR SULTAN AGUNG : SEBUAH USAHA LEGITIMASI

A. Pendahuluan

Sultan Agung merupakan salah seorang raja Jawa yang bertahta di Mataram pada tahun 1613-1645 Masehi. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaannya. Dia pula yang menyerang Belanda di Batavia tahun 1628 dan 1629, namun usaha Sultan Agung gagal.

Walaupun demikian, orang mengakui kehebatan Sultan Agung sebagai birokrat yang handal dalam mengatur administrasi pemerintahan. Ia juga seorang politikus yang berhasil menjaga stabilitas negara dan membawa negaranya ke puncak kejayaan. Sebagai pribadi pun ia memperhatikan seni budaya di negerinya. Karya sastranya antara lain Sastra Gendhing dan Babad Tanah Jawi merupakan bukti kepeduliannya terhadap seni dalam hal ini seni satra. Lahirnya penanggalan Jawa yang dimulai 8 Juli 1633 pun atas usahanya.

Hingga sekarang, sebagian besar anggota masyarakat Jawa masih percaya dengan kebesaran, kesaktian, dan kejayaan Sultan Agung tersebut sehingga setelah meninggal pun, berkahnya masih terus dicari. Kharisma Sultan Agung masih demikian kuat mengakar di dalam benak pikiran masyarakat Jawa, sehingga hal-hal yang terkait dengan Sultan Agung masih dipegang, khususnya oleh geneari tua. Diduga, hal tersebut karena berkembang dan mengakarnya cerita rakyat terkait dengan Sultan Agung yang masyarakat percayai kebenarannya, serta didukung oleh artefak maupun upacara yang masih ada.

Mitos, dalam hal ini cerita rakyat merupakan hasil kreativitas dan ekspresi budaya umat manusia yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang di masa lalu. Sebagai sebuah hasil kreativitas tentunya cerita rakyat melahirkan banyak gagasan besar tentang kehidupan ini, seperti gagasan tentang kebudayaan, agama, sistem kepercayaan, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, undang-undang, dan nilai-nilai sosial masyarakat.

Cerita rakyat biasanya berbicara tentang berbagai fenomena kejadian dalam hidup ini, seperti tentang kepribadian manusia, binatang, gejala alam, makanan, asal mula suatu tempat atau daerah, dan masih banyak lagi. Hanya saja, proses pewarisan cerita-cerita tersebut biasanya dilakukan melalui penuturan secara lisan dari orang ke orang. Hal itu terjadi karena memang perkembangan teknologi pada saat itu masih ala kadarnya, dengan kata lain masih sangat sederhana.

Sebagaimana diketahui pada umumnya, di antara fungsi cerita rakyat adalah sebagai media pembelajaran kepada masyarakat umum tentang pentingnya memegang teguh ajaran-ajaran warisan agama dan kebudayaan lokal. Di samping itu, cerita rakyat juga berfungsi untuk mengukuhkan sebuah pengakuan atas kekuatan, kekuasaan, dan sebagainya. Media cerita rakyat diyakini keampuhannya dalam menanamkan usaha tersebut.

Dibandingkan dengan media-media lain yang biasanya terlihat rumit dalam menyampaikan pesan-pesan khusus kepada masyarakat umum, media bercerita rupanya dapat dijadikan sebagai pilihan alternatif. Artinya, media ini memudahkan proses penyampaian pesan-pesan penting dalam cerita rakyat, sehingga mitos mengakar kuat dalam benak masyarakat kala itu sehingga sangat strategis fungsinya.

Cerita rakyat dapat dimasukkan dalam ketegori folklore karena mengandung beberapa aspek berikut ini: (a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan; (b) bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar; (c) dalam beragam versi yang diakibatkan karena cara penyebarannya dari mulut ke mulut (secara lisan); (d) bersifat anonim, yaitu nama pengarangnya sudah tidak diketahui lagi; (e) biasanya mempunyai bentuk bermur atau berpola; (f) mempunyai kegunaan (fuction) dalam kehidupan bersama secara kolektif; (g) bersifat pralogis karena mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; dan (h) menjadi milik bersama dari kolektif tertentu (James Danandjaja; 2002: 3-5). Beberapa mitos terkait Sultan Agung akan dibahas di dalam tulisan ini

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan, mengapa kewibawaan dan kekuasaan Sultan Agung dianggap “amat besar” dan tetap mampu bertahan di hati masyarakat Jawa hingga sekarang ini? Mengapa kharisma Sultan Agung begitu kuat di hati masyarakat? Apakah benar mitos, wujud makam, dan adanya ritual upacara yang membentuk kepercayan tersebut? Bagaimana pula fungsi beberapa hal itu membentuk makna mengenai Sultan Agung? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam makalah ini.

C. Pendekatan

Pembahasan mitos-mitos dan hal lain yang terkait dengan Sultan Agung akan menggunakan salah satu teori yang ada di dalam antropologi, yaitu fungsionalisme struktural. Teori ini memandang bahwa dalam sebuah struktur terdapat bagian-bagian struktur yang memiliki fungsi-fungsi yang saling terkait dan saling mendukung kesatuan struktur.

Kajian in akan menggunakan teori Radcliffe-Brown yang cenderung menggunakan intepreter. Menurutnya, arti dan tujuan adat istiadat harus dipahami sebagai dalam konteksnya masa kini (sinkronik) dan melihat aktivitas-aktivitas terpola yang membentuk struktur konkret yang berpola dan digeneralisasikan menjadi struktur konstruk.

Talcott Parsons menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan dan menjelaskan bahwa di antara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis, yaitu (1) pencarian pemuasan psikis; (2) kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis; (3) kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis; dan (4) usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya (Adjhee, 2007) .

Dalam kasus ini diasumsikan bahwa setiap mitos maupun hal lain yang tumbuh dan berkembang di sekitar Sultan Agung memiliki fungsi yang saling terkait satu dengan lainnya membentuk kesatuan struktur makna. Merujuk pada pendapat Tacott di atas, fungsi dari mitos dan hal lain terkait Sultan Agung memiliki tekanan pada kepentingan dalam menguraikan pengertian simbolis serta kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis fisis.

Emile Durkheim (2003 : 405), seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

D. Elemen-elemen Struktur

1. Mitos Mengenai Pribadi Sultan Agung

Sultan Agung dikenal sakti. Dalam Babad Sultan Agung disebutkan konon karena kesaktiannya itu, ia mampu memerintah berbagai jenis makhluk halus. Dalam sekejap mata ia dapat sampai di Palembang dengan duduk di atas singgasananya, bahkan ke sampai tanah Arab. Setiap hari Jumat ia selalu salat Jumat di Mekah. Ucapannya pun amat sakti. Suatu saat, salah seorang punggawanya duduk di tangga Makam Imogiri sampai tertidur. Kebetulan Sultan Agung lewat. Saat ditanya, punggawa itu menjawab bahwa enak tidur di situ. Sultan Agung kemudian berucap, supaya punggawa tersebut tetap tidur di situ. Punggawa itu pun tidur kembali, tetapi tidak pernah bangun lagi.

Dalam Sastra Gendhing maupun Babad Tanah Jawi karya Sultan Agung, tidak disinggung mengenai wajah, sifat, dan perangai Sultan Agung. Justru berita tentang diri Sultan Agung lebih banyak bersumber dari orang Belanda yang pernah menjadi tawanan di Mataram maupun mereka yang pernah berkunjung ke pusat pemerintahan Mataram.

Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram menulis bahwa kesan pertama yang diperoleh orang Belanda terhadap Sultan Agung adalah wajahnya keras tetapi arif bijaksana. Sultan Agung memerintah dengan keras sebagaimana negara besar lainnya. Itu kesan yang didapat Balthasar van Eyndhoven dan Van Surck yang pergi ke Mataram tahun 1614 ketika memberikan ucapan selamat atas diangkatnya Sultan Agung menjadi raja. Dr H de Haen datang ke Mataram tahun 1622 menceritakan bahwa tubuh Sultan Agung tegap, lebih hitam dari kebanyakan kulit orang Jawa, berhidung kecil dan tidak pesek, mulut datar agak lebar, keras dalam bicara namun lamban iramanya, wajah tenang, bulat, dan tampak cerdas. Secara umum Sultan Agung tegas dan haus ilmu pengetahuan. Ia mempelajari peta dunia, menanyakan nama-nama Gubernur Jenderal Belanda, dan beberapa ilmu pengetahuan dari utusan Belanda yang datang. Ia juga mempelajari huruf Latin dan mempunyai keinginan untuk mempelajari bahasa Belanda.

Pada tahun 1641 Raja Mataram memperoleh pengukuhan gelar sultan dari tanah suci Mekah sehingga nama Sultan Agung selengkapnya menjadi Sultan Agung Anyakrakusuma Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman yang berarti ‘raja yang agung pangeran yang sakti panglima perang dan pemangku amanah Allah Yang Mahapengasih’.

2. Mitos Pembangunan Makam Imogiri

Pada saat Mataram dipimpin oleh Sultan Agung, kerajaan mengalami kejayaan. Rakyat hidup makmur. Tanah Mataram yang loh jinawi dimanfaatkan dengan baik. Padi menghijau terhampar luas bak karpet alam yang terhampar di Bumi Mataram. Rumah-rumah tampak bersih dan tertata rapi. Jalan-jalan juga bersih. Di pinggir jalan ditanami pohon perindang sehingga terasa sejuk. Kepemimpinan Sultan Agung yang adil dan bijaksana menjadikan rakyat hidup dengan aman dan tenteram. Rakyat amat mencintai rajanya yang penyayang dan sakti itu.

Saat itu, sebagian besar rakyat Mataram sudah beragama Islam. Demikian juga Sultan Agung. Kabarnya, dengan kesaktian yang dimilikinya, setiap Jumat Sultan Agung salat Jumat di Mekah. Karena seringnya pergi ke Mekah, Sultan Agung kenal baik dengan beberapa ulama di sana. Kemudian terjalin persahabatan yang kental. Seringkali Sultan Agung diajak berkeliling melihat kota Mekah. Konon, di kota itu Sultan Agung melihat suatu tempat yang tanahnya berbau harum. Sultan kemudian menyampaikan keinginannya untuk dimakamkan di tanah itu. Namun sang Ulama melarangnya, karena Sultan Agung adalah seorang raja yang amat dicintai rakyatnya. Jika ia dimakamkan di Mekah, tentu rakyatnya tak bisa mengunjungi makam rajanya. Tetapi Sultan Agung bersikeras. Ulama itu kemudian mengambil segenggam tanah dan meminta Sultan untuk melemparkan tanah itu ke arah selatan. Tempat jatuhnya tanah itu juga akan berbau harum. Di situlah Tuanku akan dimakamkan. Sultan Agung pun menerima tanah itu dengan suka cita.

Sesampai di istana, ia ambil separuh dari tanah itu, kemudian dilemparkannya ke arah selatan. Tanah itu jatuh di Bukit Giriloyo. Sultan Agung kemudian memerintahkan para abdi dalemnya untuk membangun sebuah makam yang dipersiapkan untuk dirinya. Pembangunan makam diserahkan kepada pamannya, yaitu Pangeran Juminah. Pembangunan makam tersebut dilaksanakan pada tahun 1629-1630 M. Pembangunan melibatkan beribu-ribu orang. Dalam mengangkat batu bata dari Kraton Pleret, setiap abdi dalem duduk bersila dan merantingkan batu bata itu satu per satu agar batu bata itu tidak rusak.

Saat pembangunan makam selesai, Paman Sultan Agung sakit keras. Padahal, pamannya yang bernama Pangeran Juminahan itu turut mengawasi pembangunan makam. Beberapa waktu kemudian Pangeran Juminahan meninggal dunia. Pangeran Juminahan kemudian dimakamkan di makam yang baru selesai dibangun itu. Karena makam itu sudah digunakan untuk memakamkan pamannya, Sultan Agung tidak ingin kelak dimakamkan di situ. Ia menginginkan dia lah yang pertama kali dimakamkan di pemakaman yang dibangunnya. Ia juga merasa makam itu terlalu sempit untuk dirinya dan keluarganya. Sultan Agung kecewa karena bukan ia yang pertama dimakamkan di tempat yang terhormat tersebut dan kemudian menganggap makam yang baru tersebut terlampau kecil bagi Sultan Agung dan keluarganya.

Selesai pemakaman pamannya itu, Sultan Agung segera kembali ke istana. Ia ambil sisa tanah dari Mekah. Dilemparkannya kembali ke arah selatan. Tanah itu jatuh di Bukit Merak. Di bukit itulah Sultan Agung kembali membangun makam. Konon, dinding dan atap makam terbuat dari kayu wungle yang sengaja didatangkan dari Palembang.

Versi lain menyebutkan bahwa Sultan Agung memperoleh segenggam pasir dari Mekah. Ada juga yang menyebutkan bahwa benda yang diberikan adalah batu. Sultan Agung disarankan untuk melempar pasir/batu tersebut ke tanah Jawa, dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk dimakamkan di tempat itu. Sultan Agung marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agung dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.

Sedangkan raja-raja pendahulu Sultan Agung dimakamkan di sebelah Masjid Kotagede.

3. Wujud Makam Imogiri

Makam Imogiri terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta, kurang lebih 17 km dari Yogyakarta. Makam tersebut berada di Bukit Merak. Bukit tersebut masuk dalam dua wilayah desa sehingga Makam Imogiri juga masuk dalam wilayah dua desa, yaitu Desa Girirejo dan Desa Wukirsari. Lingkungan makam yang berada di sebelah selatan dan barat masjid serta makam raja-raja Surakarta masuk wilayah Pajimatan, Girirejo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Adapun sebelah utara dan timur masjid, serta Makam Raja-raja Yogyakarta masuk wilayah Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Sebagian besar penduduk dari dua desa tersebut bekerja sebagai petani, yaitu 4.537 orang dari 13.879 penduduk yang bekerja. Adapun sisanya bekerja sebagai pedagang, wiraswastawan, pegawai negeri dan swasta, buruh, dan tukang kayu. Tingkat pendidikannya sebagian besar adalah SD, agama yang dianut 90% Islam (Monografi Desa Girirejo dan Wukirsari, 2001). Nama Imogiri berasal dari ima/hima 'kabut' dan giri 'gunung', jadi Imogiri berarti gunung yang tertutup kabut.

Makam Imogiri dibangun menjadi beberapa bagian. Bangunan paling atas dan paling belakang digunakan untuk makam Sultan Agung. Sedangkan bangunan makam di sekitarnya untuk keluarganya.

Menurut Graaf (1986:299-301) selain makam, didekat Desa Imogiri juga dibangun rumah istirahat dari batu untuk Sultan Agung bila mengunjungi bukit tersebut.

Pembangunan Makam Astana Tinggi Imogiri di atas bukit merupakan bukti kelanjutan budaya yang ada sebelumnya. Makam tersebut merupakan bangunan berundak dan berteras. Konsep ini telah ada pada budaya masyarakat prasejarah Indonesia, kemudian dilanjutkan pada masa pengaruh Hindu-Budha. Pada masa prasejarah dikenal adanya bangunan punden berundak. Teras yang paling atas dan paling belakang pada bangunan tersebut adalah tempat yang paling sakral. Pada masa Hindu-Budha konsep ini diterapkan pada pola halaman beberapa candi yang dibangun di atas bukit, lereng bukit, atau lereng gunung seperti pada Candi Borobudur, Candi Sukuh, Candi Ceto, Candi Ijo, dan beberapa candi lainnya. Pola halaman ini disebut memusat ke belakang, maksudnya bangunan atau halaman yang berada paling belakang dan paling atas merupakan bangunan atau halaman yang paling suci (Kusen dkk., 1989:91-111). Pada masa budaya Islam konsep ini masih digunakan, seperti pada makam Sultan Agung di Makam Astana Tinggi Imogiri. Makam Sultan Agung terletak pada bagian Bukit Merak yang paling tinggi dan paling belakang, sedangkan makam para kerabat dan raja-raja sesudahnya berada di bawahnya. Menurut Graaf (1958:299) pembangunan Makam Astana Tinggi Imogiri mempunyai maksud sebagai usaha melegitimasi dan melestarikan pengaruh penguasa Mataram Islam (dalam hal ini Sultan Agung) dalam bidang spiritual. Sultan Agung selain dikenal sebagai raja, juga sebagai seorang ulama yang unggul. Kebesaran dan keimanannya pada Islam menjadikan dirinya sebagai seseorang yang luhur dan dipercaya membawa kebaikan serta berkah bagi seluruh rakyat dan masyarakat Mataram Islam.

Tingginya makam Imogiri ini, menurut beberapa penduduk sekitar makam dapat dibaca sebagai simbol bahwa untuk mencapai ketenteraman, orang harus melalui cobaan. Untuk mencapai makam itu dibuat anak-anak tangga yang berjumlah sekitar 409. Konon, setiap orang yang mencoba menghitung jumlah anak tangga itu, hasilnya selalu berbeda-beda. Cobaan digambarkan dengan anak-anak tangga itu yang jumlahnya amat banyak sebelum mencapai ke makam. Dipilihnya tempat yang agak tinggi menurut cerita Pawirodiharjo, hal itu atas petunjuk yang diperoleh Sultan Agung ketika berada di Mekah. Petunjuk yang diperoleh Sultan Agung ini untuk menunjukkan “kedekatan” Sultan dengan Tuhan, apalagi petunjuk diperoleh di Mekah, sehingga dapat diyakini kebenarannya.

Mitos setempat menyatakan bahwa barang siapa bisa menghitung jumlah tangga secara benar maka cita-citanya akan terkabul. Namun demikian, tak semua peziarah bisa benar menghitung anak-anak tangga makam Imogiri. Tak semua peziarah yang datang ke makam Imogiri menghitung sampai pada bilangan 409. Ada saja yang salah hitung. Atau, tak sampai selesai.

Tata cara memasuki makam di tempat itu setiap pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram, pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan bagi wanita harus mengenakan kemben. Selama berziarah ke dalam makam pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde. Tata cara itu pun merupakan bentuk penyakralan makam sebagai wilayah khusus dan suci yang berbeda dengan tempat lainnya sehingga harus diperlakukan secara beda pula. Hal ini pun dapat dianggap sebagai sebuah usaha legitimasi sakralnya tempat tersebut yang notabene adalah makam Sultan Agung.

4. Upacara, Nama Sesaji Upacara, dan Benda-benda di Makam Imogiri

Salah satu upacara yang ada di makam Imogiri adalah upacara Nguras Ênceh 'mencuci ênceh'. Keantusiasan masyarakat untuk mengikuti upacara tradisional itu terkait dengan pandangan masyarakat terhadap keluhuran dan kebesaran Sultan Agung.

Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan hidupnya (Peursen terj. Dick Hartoko, 1976:11 via Ds. Slamet dkk, 1990:1). Oleh karena itu setiap upacara tradisional selalu diikuti oleh masyarakat dalam jumlah yang besar.

Enceh (kong) merupaka tempat air yang menyerupai padasan atau gentong atau tempayan besar. Ênceh yang dikuras merupakan benda peninggalan Sultan Agung. Upacara Nguras Ênceh diadakan sekali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Sura/ Muharram, hari Jum'at Kliwon atau Selasa Kliwon pertama bulan tersebut. Upacara tersebut sebagai wujud penghormatan dan kepercayaan masyarakat akan kebesaran dan keluhuran Sultan Agung. Upacara Nguras Ênceh merupakan rangkaian upacara yang dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap pengambilan siwur, tirakatan, Nguras Ênceh, dan wilujengan. Setiap tahap upacra tersebut menggunakan berbagai perlengkapan dan sajen 'sesaji'. Dalam makalah ini perlengkapan dan sajen akan disebut sebagai unsur-unsur sesaji.

Latar Belakang dan Tujuan Upacara

Upacara Nguras Ênceh diadakan sebagai ungkapan rasa hormat abdi dalêm dan keturunan Sultan Agung kepada Sultan Agung sebagai pemilik awal dari ênceh, serta sebagai wujud dari pengabdian mereka kepada Sultan Agung dengan upacara memelihara benda milik beliau. Memelihara dan menjaga benda-benda peninggalannya merupakan suatu bentuk dari penghormatan, penghargaan, dan pemujaan dari masyarakat yang percaya. Para abdi dalêm, masyarakat, dan keturunan Sultan Agung percaya bahwa dengan memelihara benda peninggalannya, berkah dan kebaikan Sultan Agung dapat tersebat kepada orang yang memelihara dan ngajeni 'menghargai' benda tersebut. Bentuk-bentuk penghormatan kepada leluhur atau orang yang telah meninggal dapat bermacam-macam wujudnya, tergantung kebiasaan dan kepercayaan masyarakat setempat, misalnya dengan nyekar 'menabur bunga'.

Aktualisasi dari rasa hormat kepada yang telah meninggal di dalam budaya Jawa tidak hanya dengan nyekar 'menabur bunga' saja, melainkan juga dengan berbagai tindakan keagamaan lainnya, yaitu sedekah 'bersedekah', slametan 'selamatan', dan juga pertunjukan wayang dengan lakon yang dianggap keramat (Pratiwi, 1994:80). Upacara Nguras Ênceh yang merupakan aktualisasi dari rasa hormat juga disertai dengan sajen 'sesaji', slametan 'selamatan', dan tirakatan 'tidak tidur/terjaga semalam suntuk' yang dalam hal ini juga sebagai upaya untuk mendapatkan berkah. Masyarakat dapat ngalap berkah dari Sultan Agung dan kerabatnya dengan berbagai cara, selain dengan tirakatan dan lain-lain juga dapat dengan air yang diambil dalam ênceh, dengan makan sajen 'sesaji' dan dengan mengambil unsur-unsur sesaji lain yang telah dipersiapkan pada upacara Nguras Ênceh, serta dengan mendoakan Sultan Agung dan kerabatnya secara langsung di makamnya.

Maksud dan tujuan upacara Nguras Ênceh adalah untuk memuliakan ênceh sebagai benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan gaib agar tetap bertuah bagi para pemelihara dan pewarisnya. Serta dengan menyucikan pusaka berarti mengharapkan keselamatan jasmani dan rohani bagi pemilik, perawat, dan penyimpannya. Inti dan tujuan akhir dari upacara tersebut sebenarnya adalah untuk keselamatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Mataram khususnya Mataram Islam.

Sejarah Ênceh

Ênceh atau yang sering disebut kong merupakan tempat penampungan air yang menyerupai padasan atau gentong atau tempayan yang terbuat dari tanah liat. Ênceh berdiameter 75 cm dan tinggi 125 cm (Anonim, 1978: tanpa halaman).

Ênceh yang berada di Astana Tinggi Imogiri sebanyak empat buah. Semua berada di halaman Kemandungan. Masing-masing diberi nama Kyai Mendung, Nyai Siyem, Kyai Danumaya (dahulu bernama Kyai Rembes), dan Nyai Danumurti (dahulu bernama Nyai Wandansari). Tidak diketahui sebab perubahan perubahan nama tersebut karena tidak adanya catatan yang menjelaskan semua itu dan tidak ada keterangan dari sumber lisan. Menurut beberapa infoman, ênceh-ênceh tersebut merupakan persembahan dari kerajaan atau negara sahabat Sultan Agung, ketika beliau masih memegang pemerintahan Mataram Islam. Kyai Mendung merupakan persembahan dari Romawi, Nyai Siyem persembahan dari Thailand, Nyai Danumurti persembahan dari Aceh, dan Kyai Danumaya persembahan dari Palembang. Keterangan para informan tersebut dapat diterima, bahkan diperkuat oleh tulisan Graaf (1986:283-293) yang menyatakan bahwa wilayah kekuasaan Sultan Agung sangat luas, mempunyai daerah taklukan yang menjangkau ke luar Pulau Jawa sehingga memungkinkan adanya upeti maupun hadiah. Selain itu Sultan Agung juga mempunyai hubungan yang baik dengan beberapa daerah dan beberapa negara, antara lain Aceh, Palembang, Makasar, Cirebon, Banjarmasin, Siam/Thailand, dan Romawi.

Setiap wilayah taklukan pasti membayar upeti kepada raja penakluk dalam jangka waktu tertentu. Diperkirakan ênceh-ênceh tersebut sebagai salah satu benda upeti kepada Sultan Agung. Berkenaan dengan Palembang, Graaf (1986:283-284) menulis bahwa Palembang mempunyai hubungan dengan Mataram karena keduanya mempunyai musuh yang sama, yaitu Banten. Oleh karena itu pada tahun 1625-1626 Raja Palembang mengirim duta kepada Sultan Agung untuk menyampaikan hadiah berupa tujuh ekor gajah dan hadiah-hadiah lain, dengan maksud untuk penawaran kerjasama melawan Banten.

Hadiah-hadiah lain tersebut kemungkinan adalah ênceh, mengingat Sultan Agung seorang muslim, dan ênceh tersebut dimaksudkan sebagai tempat penampungan air untuk wudlu. Jadi diperkirakan ênceh-ênceh tersebut dipersembahkan kepada Sultan Agung sebagian sebagai hadiah dan sebagian sebagai upeti tambahan.

Sebelum Sultan Agung wafat, ênceh-ênceh tersebut disimpan di Kraton Mataran, yaitu di Kraton Plered, karena ketika Sultan Agung memerintah, pusat pemerintahan berada di Plered (Tim Festival Kraton, 1991: 1). Ketika Sultan Agung wafat, ênceh-ênceh tersebut kemudian dibawa ke tempat Sultan Agung dimakamkan, sesuai dengan tradisi saat itu yaitu ketika orang meninggal, klangenan 'barang-barang kesayangan' diikutsertakan dibawa ke makam. Barang kesayangan Sultan Agung yang dibawa ke makam adalah ênceh, burung merpati, dan kutut 'burung perkutut'. Namun burung-burung tersebut saat ini telah mati.

Fungsi Ênceh

Ênceh pada mulanya berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk wudlu khusus bagi Sultan Agung dan kerabatnya, serta para sentana dalem. Ênceh yang bernama kyai khusus digunakan oleh orang laki-laki dan yang bernama nyai khusus digunakan oleh orang perempuan. Sejak wafatnya Sultan Agung, ênceh berada di makam Imogiri sehingga fungsi ênceh bergeser menjadi benda sakral karena dianggap sebagai benda keramat yang dapat memberi berkah bagi orang yang memanfaatkan air di dalamnya. Air dalam enceh dianggap bertuah selain karena tempatnya, juga karena sumber air yang diisika ke dalam enceh itu sendiri. Ai itu merupakan campuran antara air zamzam dan air dari mataair Bengkung. Kedua sumber air tersebut diperoleh oleh dua manusia pilihan, yaitu Nabi Ismail (air zamzam) dan Kyai Bengkung setelah melalui ujian berat dalam hidupnya sehingga airnya sakral. Penyakralan terhadap air ini pun adaptasi dari konsep pra-Islam yang digabungkan dengan Islam.

Pengkeramatan tersebut berhubungan erat dengan pengkeramatan Makam Imogiri. Makam Imogiri dianggap sebagai tempat yang keramat karena di dalamnya dimakamkan tokoh-tokoh yang dimitoskan oleh masyarakat yang percaya dan meyakininya sebagai penuntun hidup. Orang yang dimaksud yaitu Sultan Agung, karena tokoh tersebut sebagai raja dan ulama besar semasa hidupnya. Persepsi masyarakat terhadap Sultan Agung tersebut yang mendukung pengkeramatan semua hal yang berhubungan dengan Sultan Agung, termasuk ênceh sebagai benda peninggalannya yang dianggap sebagai pusaka kraton (Daryatun, 2003).

Sejarah Upacara Nguras Ĕnceh

Upacara Nguras Ênceh merupakan bagian dari serangkaian upacara siraman pusaka kraton. Upacara siraman pusaka dilaksanakan pada bulan Sura sesuai dengan tradisi Suran yang dirintis oleh Sultan Agung. Siraman pusaka berarti memandikan pusaka, membersihkan benda-benda pusaka (wesi aji, kereta, keramik, dll.) dari segala kotoran. Pelaksanaan upacara siraman diselenggarakan di dalam dan di luar kraton sesuai tempat pusaka tersebut disimpan (Bratasiswara, 2000: 723-726).

Ênceh termsuk pusaka kraton yang berada di luar kraton, yaitu di Makam Imogiri sehingga pelaksanaan upacara diselenggarakan di tempat ênceh berada. Ênceh dianggap keramat, sehingga dalam pengurasannya dilakukan denan upacara yang disertai unsur-unsur sesaji, laku 'tindakan tertentu', slametan 'selamatan', dan doa-doa tertentu. Seperti pusaka lainnya, ênceh juga diberi nama yang dimaksudkan untuk menandai bahwa benda tersebut sebagai jimat 'benda keramat'.

Upacara Nguras Ênceh ada setelah Sultan Agung wafat. Menurut Graaf (1986:291) Sultan Agung wafat pada pertengahan Februari tahun 1646 M, tepatnya pada hari Jumat Legi bulan Sapar tahun 1568 Ç.

Acara inti upacara Nguras Ênceh selalu diadakan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pertama pada bulan Sura/Muharram, karena hari tersebut merupakan hari keramat bagi masyarakat Jawa. Jadi, diperkirakan upacara Nguras Ênceh diadakan pertama kali pada sepuluh bulan sesudah wafatnya Sultan Agung, yaitu bulan Sura tahun 1647 M atau 1569 Ç.

Upacara Nguras Ênceh diselenggarakan oleh dua kabupaten, yaitu Kabupaten Jurukunci Imogiri (Kraton Surakarta) dan Kabupaten Puroloyo Imogiri (Kraton Yogyakarta). Hal tersebut berawal dari adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M (Tim Festival Kraton, 1991:2) yang telah membagi Mataram menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta, yang mengakibatkan hak milik ênceh juga dibagi menjadi dua. Kyai Wandansari/ Kyai Danumaya dan Nyai Rembes/Nyai Danumurti menjadi hak milik Kraton Yogyakarta, Kyai Mendung dan Nyai Siyem menjadi hal milik Kraton Surakarta.

Upacara sifatnya tertutup dan hanya boleh diikuti oleh abdi dalêm makam dan kerabat kraton. Namun pada tahun 1969 ada kebijaksanaan dari kraton bahwa upacara tersebut dapat diikuti oleh masyarakat umum.

Wujud Upacara Nguras Ênceh

a. Waktu Pelaksanaan. Upacara Nguras Ênceh selalu dimulai pada hari Senin Wage sampai acara inti yaitu pada hari Selasa Kliwon atau dimulai Kamis Wage sampai acara inti yaitu pada hari Jumat Kliwon yang pertama pada bulan Sura/Muharram.

b. Tempat Upacara. Upacara dilaksanakan di halaman Kemandungan Makam Imogiri.

c. Rangkaian Upacara. Upacara Nguras Ênceh merupakan serangkaian upacara yang terdiri dari beberapa tahap dan tiap-tiap tahap disertai dengan sajen 'sesaji', laku 'kegiatan tertentu', dan doa-doa tertentu. Pelaksanaan upacara selalu diawali dari Surakarta, karena Surakarta lebih tua. Tahap-tahap tersebut yaitu:

1) Tahap Pengambilan Siwur 'gayung dari tempurung kelapa'

Pada tahap ini upacara mengalami tiga perkembangan, yaitu masa Mataram masih utuh, masa Mataram terbagi dua, dan masa tahun 2000-kini.

Tiap-tiap masa dalam pengambilan siwur disertai dengan penyajian tumpeng, dan untuk masa tahun 2000-kini disertai dengan penyajian gunungan. Pada masa Mataram masih utuh pengambilan siwur dilaksanakan oleh abdi dalêm Astana Tinggi Imogiri yang sedang caos 'jaga' dari Dalem Jurukunci Makam Imogiri. Siwur tersebut kemudian diletakkan dalam sebuah jodhang dan dipikul untuk dibawa ke makam.

Pada masa Mataram sudah terbagi dua, masing-masing kraton mempunyai siwur dan diambil oleh masing-masing abdi dalêm dari dalem kabupaten masing-masing. Untuk Yogyakarta siwur diambil dari Dalem Kabupaten Puroloyo Imogiri, sedangkan untuk Surakarta dari Dalem Kabupaten Jurukunci Imogiri. Abdi dalêm yang mengambil adalah abdi yang sedang caos 'jaga' saat itu dan berjumlah empat orang. Siwur diletakkan dalam jodhang kemudian dipikul untuk dibawa ke Makam Imogiri.

Pada tahun 2000 Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul memanfaatkan tradisi mengambil siwur sebagai ajang untuk menawarkan aset wisata di Bantul. Oleh karena itu upacara pengambilan siwur dikembangkan menjadi upacara Ngarak Siwur. Seluruh abdi dalêm dari dua kabupaten dan komponen masyarakat terlibat dalam upacara tersebut. Selain itu, abdi dalêm kaprajan dari tingkat kecamatan sampai tingkat desa diikutsertakan. Tokoh masyarakat, pemuda, pelajar, pekerja seni, dan komponen masyarakat yang lain semua berpatisipasi. Semua berpakaian sesuai dengan profesinya masing-masing kecuali para abdi dalêm kaprajan yang berpakaian adat Jawa. Untuk meramaikan upacara, seluruh potensi kesenian yang ada di Kecamatan Imogiri dikeluarkan seperti gejog lesung, campur sari, sholawatan, dan jathilan. Arak-arakan berangkat dari kantor Kecamatan Imogiri pada pukul 13.00 WIB dilepas oleh Camat Imogiri yang sedang menjabat. Arak-arakan berjalan menuju Makam Imogiri, namun sebelumnya singgah dahulu di Dalem Kabupaten Jurukunci Imogiri untuk mengambil siwur milik Kraton Surakarta. Penyerahan siwur dilaksanakan oleh Bupati Jurukunci dan diterima oleh Carik Kati dari Kabupaten Jurukunci. Selanjutnya siwur tersebut dilatakkan dalam jodhang yang telah disiapkan dan dipikul oleh abdi dalêm untuk dibawa ke makam Imogiri. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Dalem Puroloyo Imogiri untuk mengambil siwur milik Kraton Yogyakarta. Penyerahan dilaksanakan oleh Bupati Puroloyo dan diterima Carik Kati Kabupaten Puroloyo, selanjutnya diserahkan kepada abdi dalêm dan diletakkan dalam jodhang kemudian dibawa ke Makam Imogiri. Siwur-siwur tersebut kemudian diarak menuju Makam Imogiri.

Sesampainya di halaman paling bawah dari makam, dilakukan upacara serah terima siwur dari panitia upacara Ngarak Siwur yang dilaksanakan oleh Camat Imogiri kepada masing-masing bupati dari dua kabupaten. Selesai serah terima siwur dilanjutkan dengan penutupan acara. Dalam penutupan tersebut masyarakat berdesakan mengambil gunungan dan tumpeng sebagai wujud ngalap berkah dari benda-benda upacara. Setelah selesai penutupan, abdi dalêm yang caos 'jaga' membawa siwur tersebut ke Makam Imogiri untuk disimpan. Siwur kemudian disimpan di dalam Regol Srimanganti, yaitu bangunan yang ada pada kanan-kiri halaman di depan makam Sultan Agung. Untuk selanjutnya tahap pengambilan siwur disebut tahap Ngarak Siwur.

2) Tahap Tirakatan

Tirakatan atau yang biasa disebut tuguran merupakan kegiatan berjaga-jaga semalam suntuk tanpa tidur disertai dengan berdoa. Tirakatan wajib diikuti oleh abdi dalêm yang caos hari itu dan boleh diikuti oleh abdi dalêm lain dan masyarakat umum yang berkeinginan untuk mengikutinya.

Syarat untuk mengikuti tirakatan adalah badan dan pikiran peserta bersih, karena bersih dan suci merupakan salah satu syarat terkabulnya doa. Doa utama yang dipanjatkan dalam tirakatan tersebut adalah bekti tahlil yang dipimpin oleh abdi dalêm yang caos atau abdi dalêm lain yang bersedia memimpin. Tujuan utama dari tirakatan adalah untuk laku prihatin dengan mengurangi tidur sambil berdoa. Dengan laku prihatin dan berdoa, diharapkan upacara Nguras Ênceh yang merupakan acara inti akan dilaksanakan pada keesokan harinya dapat berjalan lancar dan tujuan dari upacara tersebut dapat tercapai. Setelah bekti tahlil selesai, masing-masing pribadi boleh berdoa untuk kepentingan pribadi.

3) Tahap Nguras Ênceh

Sebelum mengikuti upacara Nguras Ênceh, seluruh abdi dalêm diwajibkan membersihkan dirinya dengan cara mandi besar (mandi keramas), dan selama upacara berlangsung tidak diperkenankan berkata jorok. Dari situ terlihat adanya pengaruh nilai-nilai Islam (mandi besar) sebagai cara menyucikan diri. Selain itu, abdi dalêm wajib mengenakan pakaian pranakan. Untuk Yogyakarta berupa surjan lurik, kain wiron ukel, udheng warna hitam, dan keris. Untuk Surakarta berupa beskap putih, kain wiron ukel, udheng hitam, dan keris.

Pada tahap ini pada pukul 08.00 WIB abdi dalêm dari dua kabupaten mengambil sajen 'sesaji' dari dalem kabupaten masing-masing. Sajen tersebut diletakkan dalam pikulan yang dialsi dan ditutup mori. Kemudian sajen tersebut dibawa dengan cara dipikul dan dipayungi songsong berwarna kuning. Sajen diangkat oleh empat orang abdi dalêm, dipayungi oleh seorang abdi dalêm, dan dikawal oleh seluruh abdi dalêm masing-masing kabupaten yang tidak sedang caos di makam. Sesampainya di halaman Kemandungan, sajen ditata d atas meja yang sudah disiapkan olehabdi dalêm yang caos. Sajen ditata di atas meja tersebut, kemudian ditutup mori, dan siwur diletakkan di dekatnya. Tepat pukul 10.00 WIB upacara dimulai. Upacara diawali oleh Kraton Surakarta. Setelah selesai baru diikuti oleh Kraton Yogyakarta.

Urut-urutan upacara tersebut yaitu, pertama-tama bupati memimpin bekti tahlil yang diikuti oleh seluruh abdi dalêm setiap kabupaten, kemudian dilanjutkan meNguras Ênceh mulai dari yang bernama kyai dilanjutkan ênceh yang bernamaa nyai. Konsep ini terkait konsep masyarakat setempat yang lebih meninggikan derajat laki-laki. Pengurasan diawali oleh bupati makam, dan dilanjutkan oleh para abdi dalêm. Di dalamnya ditemukan konsep memimpin, memberi contoh, teladan, pengarahan dari seorang pemimpin dalam "bekerja". Selesai menguras dilanjutkan dengan mengisinya kembali. Air yang diisikan ke dalamênceh merupakan campuran air zamzam dan air dari mata air Bengkung. Pada waktu menguras dan mengisi masyaakat dapat berpartisipasi di dalamnya. Selesai mengisi kemudian membagi air dan sajen kepada masyarakat yang menginginkannya. Sajen yang dibuat oleh abdi dalêm madaran diberikan kepada abdi dalêm yang sedang caos hari itu, adapun sajen yang dibuat oleh abdi dalêm yang ditunjuk dibagikan kepada masyarakat.

4) Tahap Sugengan atau Wilujengan atau Slametan

Sugengan, wilujengan, atau slametan berasal dari kata sugeng, wilujeng, slamet, yang berarti 'selamat'. Sugengan merupakan acara terakhir dari serangkaian upacara Nugras Ênceh. Dalam tahap ini seluruh abdi dalêm berkumpul dan berdoa sebagai ucapa terima kasih kepada Tuhan YAng Maha Esa atas keselamatan dan kelancaran upacara Nguras Ênceh. Sugengan berupa bekti tahlil dan makan bersama seluruh abdi dalêm disertai dengan kenduri dan pembagian berkatan. Abdi dalêm yang mengikuti seluruh rangkaian upacara hanya abdi dalêm laki-laki, adapun abdi dalêm perempuan hanya membantu dan membai sajen.

d. Klasifikasi Unsur-unsur Sesaji Upacara

Berikut ini ditampilkan nama-nama unsur sesaji yang meliputi sajen dan perlengkapan upacara Nguras Ênceh secara keseluruhan. Adapun yang dimaksud dengan sajen adalah seperangan persembahan menurut adat sebagai tanda kesiapan untuk melakukan suatu upacara tertentu (Bratasiswara, 2000: 708-709). Unsur-unsur sesaji dalam upacara Nguras Ênceh dapat dikelompokkan menjadi: (1) Unsur sesaji yang berupa sega, yaitu sega gebuli, sega golong, sega liwet, dan sega suci; (2) Unsur sesaji yang berupa jenang 'bubur', yaitu jenang abang, jenang putih, dan jenang baro-baro; (3) Unsur sesaji yang berupa jangan 'sayur', yaitu jangan lotho, jangan menir, pindhang kluwih, sucen, dan gudhangan; (4) Unsur sesaji yang berupa lawuh 'lauk-pauk', yaitu endhog godhog, endhog goreng, endhog godhog goreng, kripik tempe, tempe goreng, entho-entho, petek dhele, dan cabuk rambak; (5) Unsur sesaji yang berupa daging dan ikan, yaitu rempela ati goreng, ulam panggang, ulam sari, ulam putih, pindhang antep, urang goreng, gereh pethek goreng, dan daging kebo siji; (6) Unsur sesaji yang berupa sambel 'sambal', yaitu sambel kacang, sambel kethak, dan sambel gereh pethek; (7) Unsur sesaji yang berupa kudapan, yaitu kolak, kolak kencana, apem, ketan, dan ketan salak; (8) Unsur sesaji yang berupa perlengkapan lain, yaitu kinang menyan; (9) Unsur sesaji yang berupa gedhang 'pisang', yaitu gedhang raja, gedhang pulut, dan gedhang mas; (10) Unsur sesaji yang berupa sayuran, yaitu bayem, kangkung, kacang lanjaran, terong, sledri, dan kobis; (11) Unsur sesaji yang berupa bumbu, yaitu lombok, brambang, dan trasi; (12) Unsur sesaji yang berupa godhong 'daun', yaitu godhong apa-apa, godhong awar-awar, godhong dhadhap srep, godhong pandhan wangi, godhing gedhang, godhong suruh, godhong kelor, dan janur; (13) Unsur sesaji yang berupa kembang 'bunga', yaitu kembang mawar, kembang mlati, kembang kanthil, kembang tlasih, kembang wora-wari, kembang nanga, kembang among, kembang setaman, kembang telon, dan kembang rasulan; (14) Unsur sesaji yang berupa wadhah 'tempat', yaitu sudhi, takir, cekethong, penak, besek, wakul, dunak, tenggok, ancak, jodhang, siwur,ênceh, dan anglo; (15) Unsur sesaji yang berupa tutup dan alas, yaitu sindur, songsong, mori, dan samir; (16) Unsur sesaji yang berupa sanggan, yaitu sanggan jajan pasar dan sanggan gedhang raja; (17) Unsur sesaji yang berupa tumpeng, yaitu tumpeng robyong, tumpeng ulam panggang, tumpeng woran, dan tumpeng pustaka; (18) Unsur sesaji yang berupa ambeng, yaitu ambeng asahan, ambeng kapuranta, ambeng gebuli, ambeng sega golong, ambeng sega suci, dan ambeng sega liwet.

Setiap unsur sesaji tersebut merupakan sebuah tanda yang mengandung makna tertentu untuk kemuliaan Sultan Agung. Sebagai salah satu contoh, kolak kencana. Kolak kencana merupakan nama kudapan yang terbuat dari pisang emas. Makanan ini dipercaya merupakan makanan kesuakaan Sultan Agung. Selain itu, warna dari psang emas sebagai lambang keagungan dari seorang raja, yaitu Sultan Agung (Daryatun, 2003: 149). Kata kencana juga mengandung makna hati (Sultan Agung) yang bersih (Sunjata, 1995: 228). Contoh lain adalah godhong apa-apa. Godhong sendiri secara umum melambangkan kesuburan, karena dalam sistem pertanian masyarakat di sekitar Makam Imogiri, kesuburan tumbuhan dilihat dari daunnya. Tumbuhan yang subur umumnya terlihat dari daunnya yang rimbun, hijau, dan segar. Selain itu, daun juga bermakna kehidupan. Suatu tumbuhan disebut hidup manakal sudah bertunas, memunculkan daunnya. Godhong apa-apa digunakan dalam upacara dimaksudkan sebagai tolak bala dari rintangan apa-apa (segala rintangan) sehingga upacara berjalan lancar. Mengapa alat tolak bala tersebut berupa daun? Hal ini terkait dengan latar belakang sistem mata pencaharian masyarakat Jawa tempo dulu pada umumnya dan masyarakat Imogiri khususnya yang agraris.

E. Analisis

Deskripsi formal penting untuk mengungkap relasi antar elemen dari bangunan makam Imogiri dengan makna yang tercermin dari mitos yang berkembang di sekelilingnya dan mitos di sekeliling Sultan Agung. Dalam mencari hubungan ini penulis mengambil empat hal yaitu mitos tentang diri Sultan Agung, mitos pembangunan makam Imogiri, dan wujud makam Imogiri sendiri, serta salah satu upacara beserta perlengakapnnya yang dilaksanakan di makam Imogiri. Keempatnya merupakan bagian dari sebuah struktur utuh untuk “memaknai” Sultan Agung yang pada akhirnya menunjuk fungsi dari empat bagian struktur tadi. Masing-masing bagian saling terkait terkait dan saling mendukung satu sama lain.

Rony Chandra Kristanto dalam tulisannya Tafsir Retorik-Dialogis Silsilah Yesus Dalam Lukas 3:23-38 menyebutkan bahwa mitologi berfungsi untuk memberi suatu dasar bagi asal mula suatu hal maupun peristiwa di masa lampau, dimana masa lampau itu sendiri tidak dijelaskan, tetapi dipakai untuk menjelaskan masa yang kemudian, baik sekarang maupun yang akan datang. Dalam hal ini, mito-mitos terkait Sultan Agung digunakan untuk menjelaskan bagaimana Sultan Agung membentuk sebuah pengakuan dari masyarakat atas kekuasaannya.

Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari sistem listrik, sistem pernapasan, atau sistem sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.

Demikian juga dengan kasus mitos-mitos di sekitar Sultan Agung ini. Setiap mitos yang tumbuh dan berkembang memiliki peran yang membentuk keseluruhan makna terkait kekuasaan Sultan Agung. Semua mitos terkait satu sama lain yang membentuk jalinan yang tak terpisahkan dan saling memperkuat kedudukan Sultan Agung sebagai seorang raja yang mendapat wahyu atau kepercayaan dari Tuhan untuk memimpin Tanah Jawa (baca: Mataram Islam).

Berawal dari nama yang dipilih, Sultan Agung sudah sengaja menunjukkan bahwa dirinya patut menjadi Raja sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Waliullah Sayidin Panatagama). Selain itu disebutkan bahwa pada tahun 1641 Sultan Agung mendapat pengukuhan gelar sultan dari amir di tanah suci Mekah sehingga nama Sultan Agung selengkapnya menjadi Sultan Agung Anyakrakusuma Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman yang berarti ‘raja yang agung pangeran yang sakti panglima perang dan pemangku amanah Allah Yang Mahapengasih’. Mengapa nama yang dipilih adalah nama Arab dan pengukuhan harus dilakukan oleh Amir Arab? Dari situ kita melihat bahwa Sultan Agung berusaha mendapat pengakuan dari masyarakat yang saat itu sebagian besar sudah Islam untuk memperoleh legitimasi bahwa dirinya Islam, raja yang layak memimpin umat Islam, raja pemangku amanah Allah yang sah. Pengesahan diperkuat dengan restu dari amir, yang notabene Arab adalah sumber Islam dan amir adalah keturunan nabi −seolah-olah amir sebagai wakil dari nabi, orang yang mendapat kepercayaan langsung dari Tuhan untuk menyebarkan agama Islam. Di sini, Sultan Agung mendapat pengakuan dari tempat asal Islam langsung, dan melalui amirlah seolah Sultan Agung ingin mendudukkan dirinya sama dengan amir (keturunan nabi) yang berarti berhak dan sah untuk menyebarkan agama Islam, dipercaya memegang amanah Tuhan sebagai pemimpin umat-umat Islam. Selian itu, bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram dipandang sebagai amanat Tuhan bagi tumbuhnya syi’ar ajaran Islam di tanah Jawa.

Dalam naskah-naksah kuna seperti babad (Babad Sultan Agung, Babad Tanah Jawi) maupun serat, Sultan juga menampilkan silsilah raja-raja Jawa. Silsilah ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Pangiwa (silsilah sebelah kiri) dan Panengen (silsilah sebelah kanan), dimana pangiwa adalah daftar silsilah dari raja dan keturunannya non-Islam (Hindu, Budha, dan lainnya). Dalam silsilah ini jika ditarik ke atas akan dijumpai daftar nama padewan (dewa-dewa). Sedangkan panengen merupakan daftar silsilah raja dan keturunannya yang jika ditarik ke atas akan menghubungkan raja dengan nabi Muhammad dan juga Kanjeng Nabi Adam (Adam). Daftar silsilah Silsilah itu dimulai dari keturunan Dewa Sys hingga Nabi Adam, yang kemudian menurunkan Raja-raja Jawa. Hal ini untuk melegitimasikan bahwa Raja Mataram adalah keturunan Dewa (Hindu-Budha), sekaligus keturunan nabi (Islam). Raja Mataram direstui oleh agama Hindu, Budha, dan religi-religi sebelum Islam maupun Islam. Hal ini dilakukan karena pada masa itu sebagian penduduk Mataram masih memegang kepercayaan-kepercayaan pra-Islam, seperti Hindu, Budha, maupun animisme, dan Sultan Agung juga memerlukan pengakuan dari golongan ini. Selain itu juga untuk menunjukkan bahwa peralihan agama dari pra-Islam ke Islam pun direstui oleh para Dewa.

Mitos pengukuhan nama ini tidak akan berterima di masyarakat bila tidak didukung oleh mitos kekuatan dan kesaktian Sultan Agung. Sultan Agung bisa memperoleh pengukuhan di Mekah akibat “kenal dan dekat” dengan ulama-ulama Arab. Dan ia bisa kenal dan dekat karena adanya mitos setiap Jumat Sultan Agung salat Jumat di Mekah. Ia bisa ke Mekah dalam sekejap menggunakan kesaktiannya. Di sini sudah tampak hubungan dan perlunya satu mitos untuk melogiskan mitos yang lain.

Mitos berikutnya mengenai makam Imogiri dan asal-usulnya. Walaupun mitos mengenai asal mula makam ada beberapa versi, namun semua memiliki kesamaan, yaitu Sultan Agung sangat sakti sehingga setiap Jumat salat Jumat di Mekah. Keinginan Sultan Agung untuk dimakamkan di Mekah ditolak ulama Mekah dengan alasan rakyatnya tidak bisa mengunjungi makam Sultan Agung. Di sini menunjukkan legitimasi kekuatan dan kesaktian Sultan Agung yang mampu bolak-balik Jawa-Mekah dalam sekejap. Ia juga bersahabat dengan ulama Mekah yang menunjukkan bahwa Sultan Agung dekat dan diakui kebesarannya oleh ulama Mekah (legitimasi agama). Ulama Mekah juga melarang Sultan Agung dimakamkan di Mekah dengan alasan rakyatnya tidak bisa mengunjunginya. Rakyat Sultan Agung tidak sesakti Sultan Agung, juga menguatkan bahwa Sultan Agung dicintai oleh rakyatnya sehingga mereka ingin mengunjungi makamnya, hal ini pun diketahui dan diakui oleh ulama Mekah. Kembali lagi Sultan Agung mendapat legitimasi bahwa ia dicintai rakyatnya sehingga setelah mati pun rakyatnya tetap ingin mengunjunginya.

Makam yang berbau harum juga untuk menunjukkan bahwa Sultan Agung adalah raja besar, sehingga makamnya pun harus tanah yang berbau harum. Ia adalah orang pilihan yang berbeda dengan orang kebanyakan. Makamnya harus luas, dan harus orang pertama yang dimakamkan di tanah tersebut. Kembali lagi legitimasi kekuasaan dibangun dalam mitos ini.

Kayu untuk cungkup makam didatangkan khusus dari Palembang sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa kekuasaan dan hubungan Sultan Agung luas hingga mencapai Palembang. Sultan Agung juga menginginkan terbaik bagi makamnya, sehingga “hanya” sebuah kayu pun harus didatangkan dari jauh. Kembali Sultan Agung menginginkan hal yang sempurna untuk menunjukkan kekuasaan, kewibawaan, dan kebesarannya. Untuk membawa batu batanya pun para pekerja harus duduk merantingkannya. Hal itu untuk menjaga kesakralan makam tersebut. Pembentukan kesan sakral makam Sultan Agung dimulai.

Menurut sejarah, Sultan Agung membangun makam Imogiri beberapa saat setelah Sultan Agung mengalami kekalahan dalam dua kali penyerangan ke Batavia (1628/1629). Peristiwa tersebut mengindikasikan betapa kuatnya keinginan Sultan Agung untuk mendapat legitimasi di bidang spiritual, di paras publik. Ada semangat zaman yang menjadikan Sultan Agung, yang dikatakan saleh itu, tetap memakai bahasa sinkretisme yang paling mudah dikenali pada zaman itu yaitu dengan kekuatan supranatural dan kekuatan alam berupa pembangunan makam di atas puncak bukit. Saat itu, keislaman dipakai sebagai label-label di paras publik, sementara di paras individu kepercayaan “agama kuna” direpresentasikan melalui bangunan. Hal itu pun dilakukan oleh Sultan Agung. Ia memakai label nama Islam, namun bangunan makam masih meminjam konsep Hindu-Budha (pra-Islam). Keduanya dilakukan untuk memperoleh pengakuan dari dua golongan: pra-Islam dan Islam.

Benda-benda pusaka seperti enceh sebagai hadiah dari negeri-negeri tetangga seperti Roma, Thailand, Aceh, dan Palembang juga sebagai legitimasi kekuasaan dan keluasan hubungan Mataram yang dibangun oleh Sultan Agung.

Makam Imogiri yang terletak di puncak sebuah bukit dan menghadap ke selatan ini terdiri dari tujuh lajur ruang-ruang makam yang masing-masing lajur berisi tiga atau lima ruang yang tertutup. Dua lajur di barat diperuntukkan bagi raja-raja Kasunanan Surakarta sedang empat di timur dipakai oleh Kasultanan Yogyakarta. Lajur tengah, satu-satunya yang terdiri dari lima ruang, dipakai oleh Sultan Agung sendiri dan keluarganya.

Komposisi ruang luar makam ini diatur suksesif dengan prosesi inisiasi dari selatan, dari sebuah masjid dan bangsal di bawah bukit itu dan melewati ratusan anak tangga mendaki ke puncak. Ruang makam yang tertutup itu juga diatur suksesif menjadi sebuah lajur. Ruang di paling utara sebagai ruang paling sakral sekaligus dengan derajat ketertutupan yang paling tinggi; kulminasinya adalah ruang ke lima lajur Sultan Agung yang berada di ujung utara yang dilengkapi dengan cungkup. Struktur formal seperti ini seakan menegaskan kehadiran gunung sebagai konsep meru pada zaman pra-Islam.

Interpretasi ini diperkuat dengan melihat bagaimana air, suatu elemen kehidupan yang menyusun konsep kekeramatan. Titik-titik dimana air secara sahih dianggap penting ada di kulah masjid, kolam dilintasi jembatan dan air di gentong-gentong di ruang Sri Manganti. Titik-titik air ini ternyata penting ketika terjadi prosesi yang menunjukkan inisiasi menuju ke puncak. Dari bawah, dari titik awal terjadinya prosesi inisiasi atau penerobosan, terdapat air di kulah masjid. Air ini untuk pensucian ketika akan shalat.

Masjid yang terletak di titik awal prosesi menunjukkan suatu proses ‘persiapan’. Air mempunyai makna yang fungsional sebagai media penyucian. Air kolam, yang berada di area ‘pintu masuk’ makam barangkali bermakna sebagai petunjuk perjalanan spiritual. Jembatan yang melintasi kolam dinamakan ‘siratal mustakim’, suatu jembatan sehelai rambut dibelah tujuh yang memisahkan padang masyar dan sorga di struktur ontologi Islam tentang akherat, dunia setelah mati. Perjalanan melintasi jembatan tersebut adalah perjalanan yang sulit dan krusial, dari tahap duniawi ke tahap sorgawi yang kekal. Tak mengherankan bila kolam ini terletak di depan gapura supit urang, suatu tempat yang mengindikasikan adanya ‘percabangan’ perjalanan atau ruang transisi antara ruang luar dan ruang dalam. Suatu penerobosan ke pusat pasti melintasi kolam dan jembatan ini, yang berarti secara simbolis telah melintasi perjalanan ruang, dari luar ke dalam, dan waktu, dari yang tidak kekal dan linier ke yang kekal. Air ternyata hanya terletak di ‘luar’ dari gunung yang inti (Maharika, 2007). Dari konsep makam ini Sultan Agung menggabungkan konsep pra-Islam dan Islam untuk legitimasinya atas kesakralan makamnya, sekaligus pemahamannya mengenai dunia spiritual (legitimasi spiritual).

Upacara Nguras Enceh sebagai sala satu upacara di makam Imogiri ini sebagai penguat ketiga elem sebelumnya, sekaligus sebagai pelestari dari keseluruhan pemaknaan dan legitimasi Sultan Agung. Pasalnya, dari upacara itulah kepercayaan terhadap berkah Sultan Agung terus-menerus dibangun pada setiap tahunnya. Saat masyarakat masih antusias untuk mengikuti upacara, sekaligus ngalap berkah dari perlengakapn upacara, maka legitimasi dan pengakuan masyarakat akan kebesaran Sultan Agung sebagai pembawa tuah akan terus lestari.

F. Penutup

Hal yang terungkap dari bangunan makam, mitos, dan upacara di Makam Imogiri adalah adanya upaya pemakaian simbol-simbol pra-Islam kemudian dipakai secara fungsional untuk praktek-praktek ritual di zaman Islam. Bangunan, mitos, dan upacara itu semua menstruktur, saling mendukung, dan membentuk kesatuan yang mempunyai fungsi utuh, yaitu legitimiasi atas kekuasaan Sultan Agung. Jika salah satu tidak ada, struktur legitimasi itu akan pudar. Di dalam hubungannya terdapat keterkaitan dan saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit ataupun melemah sangat berimplikasi pula pada bagian yang lain. Sebagai contoh, andaikan mitos tentang kesaktian Sultan Agung tidak ada, maka mitos asal mual pembangunan makam Imogiri pun tidak akan ada, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena tidak didukung oleh “kebutuhan” akan kesaktian Sultan Agung. Dari keempat bagian dari struktur di atas, Sultan Agung mendapat legitimasi spiritual, kekuatan, kesaktian, kewibawaan, serta sosial secara bersama-sama. Legitimasi itu masih bertahan seiring dengan masih bertahannya elemen-elemen penyusun struktur pemaknaan Sultan Agung, yaitu mitos Sultan Agung, mitos makam Imogiri, makam Imogiri, dan upacara.

Daftar Pustaka

Adrisijati, Inajati. 1973. ”Kekunaan Islam di Imogiri: Tinjauan Terhadap Seni BANgun dan Seni Hiasnya”. Yogyakarta: Skripsi Sarjana Muda Ilmu Purbakala Fakultas Satra Universitas Gadjah Mada.

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. 1980. Babad Sultan Agung. Diindonesiakan oleh Soenarko H. Poespito. Yogyakarta: Proyek Penelitian Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bratasiswara, Harmanto. 2000. Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa. Jilid I dan II. Jakarta: Yayasan Surya Sumirat.

Daryatun. 2003. ”Nama-nama Unsur Sesaji Dalam Upacara Nguras Enceh (Analisis Semantik dan Semiotik)”. Yogyakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Ds, Slamet. dkk. 1990. Arti perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-Nilai Budaya Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Durkheim, Emile. 2003. The Elementary Forms of the Religion Life (Sejarah Agama). Yogyakarta: Ircisod.

Graaf. H.J. de. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Terjemahan oleh Lembaga Javanologi dari De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram, 1613-1645, en Die van Voorganer Panembahan Seda-Ing-Krapjak, 1601-1613 (1958). Jakarta: PT Temprint.

Jandra, Mifedwil, dkk. 1991. Perangkat Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kepala Bagian Umum Desa Girirejo. "Data monografi Desa Girirejo Tahun 2001". 2001. Yogyakarta: Kepala Bagian Umum Desa Girirejo.

Kusen dkk. 1989. "Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit". Dalam Sartono Kartodirjo dkk. (Ed.). 1992. 700 Tahun Majapahit (1293-1993): Suatu Bunga Rampai. Hlm: 91-111. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Maharika, Ilya F. 2007. Makam, Taman dan Masjid Interpretasi Ungkapan Sinkretik Spiritualitas Antara Pra Islam dan Islam di Bangunan-Bangunan Mataram. Dalam http://www.ftspl.uii.ac.id/ATAP/makam.htm

Poerwadarminta, W.J.S. 1039. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters.

Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Susanto, P.S. Harry. 1986. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.

Website:

http://adjhee.wordpress.com/2007/11/08/teori-fungsional-struktural/

http://indospiritual.com/artikel_berapa jumlah anak tangga makam imogiri.html & sultan agung ke arab dalam sekejap.html

http://www.pintunet.com/lihat_opini.

http://masud.uni.cc/page/makam raja-raja mataram diimogiri

http://kompas.com/kompas-cetak/0603/23/jogja/.htm